Dunia sepak bola Tanah Air kembali berduka dengan meninggalnya seorang suporter Persija jelang laga big match Liga 1, Persib vs Persija, pada Minggu (23/9/2018).
Seorang suporter Persija yang merupakan anggota The Jak Mania, Haringga Sirla, tewas setelah dikeroyok massa di luar Stadion Gelora Bandung Lautan Api jelang laga Liga 1 2018 antara Persib Bandung dan Persija Jakarta.
Identitas suporter Persija Jakarta asal Cengkareng itu dikonfimasi oleh Sekjen The Jak Mania, Diky Budy Ramadhan.
Tewasnya Haringga menjadi perhatian nasional, terlebih karena video pemukulan sang korban yang menurut kabar terjadi di Ring 1 GBLA tersebut menjadi viral di sosial media.
Sebelum pertandingan, aparat keamanan dan banyak pihak lain melarang suporter Persija untuk tidak datang ke Bandung.
Bahkan, ikon tim Macan Kemayoran, Bambang Pamungkas, menghimbau para suporter untuk menggunakan akal sehat dan tidak ada satu kemenangan pun yang sebanding dengan nyawa.
Namun, apakah menjamin keamanan para suporter tandang harus berarti mereka dilarang datang menonton tim mereka?
Laga di Bandung merupakan yang kedua tanpa penonton bagi suporter Persija dalam laga kontra Persib setelah pertandingan di Stadion PTIK, Jakarta, pada 30 Juni 2018.
Sebelum itu, Persija menjalani laga kandang "usiran" Liga 1 di Stadion Manahan Solo pada November 2017.
Tentu, merupakan hak bagi setiap suporter untuk menyaksikan klub kesayangan bertanding di kota mereka sendiri.
Padahal, polisi beberapa kali melakukan pengawalan khusus seperti kepada suporter Persib jelang final Piala Bhayangkara kontra Arema FC pada April 2016.
Aparat gabungan mengawal ribuan bobotoh ke Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.
"Suporter sepak bola memiliki karakteristik sendiri. Mereka punya identitas kuat dan fanatisme yang berujung ke ketidak mampuan untuk mengontrol diri," ujar AKBP Susatyo Purnomo dari Polres Metro Jakarta Pusat dalam wawancara dengan Netmediatama pada April 2016.
(Baca Juga: Seorang Suporter Persija Tewas di Bandung, Begini Kronologinya)
Bisa jadi, larangan menonton justru menjadi panggilan tantangan untuk beberapa suporter yang merasa militansi dan loyalitas mereka tengah diuji.
Jika begitu, pendekatan ala kepolisian Inggris dalam menangani suporter (mungkin) bisa dijadikan acuan.
Salah satu kerusuhan terbesar yang terjadi di Inggris dalam satu dekade terakhir melibatkan suporter Newcastle dan Sunderland setelah Newcastle United kalah 0-3 di kandang sendiri dalam laga derbi musim 2012-2013.
Setelah lama steril dari pertengkaran antarsuporter, kerusuhan menjalar di kota Newcastle. Suporter melempar botol, petasan, batu, dan bata ke arah polisi.
(Baca Juga: 5 Catatan Hitam Persib Vs Persija, Hujan Kartu Hingga Suporter Persija Tewas Dikeroyok)
"Ada bom meledak ketika saya tengah makan di Chinatown, meja saya sampai bergetar,” ungkap Fedelis Fernando, mahasiswa Newcastle University ketika itu, kepada BolaSport.com beberapa waktu lalu.
"Kerusuhan terbesar yang terjadi di kota ini dalam beberapa dekade terakhir," ujar salah seorang polisi yang bertugas hari itu, seperti dikutip BolaSport.com dari Guardian.
Pada akhirnya, polisi menangkap 29 orang yang terlibat aksi tersebut.
Kepolisian Northumbria, sebagai kekuatan polisi di kota itu, tak ingin kejadian sama terulang saat Newcastle menjamu Sunderland pada musim berikutnya.
Alih-alih melarang suporter lawan datang, mereka memastikan segala cara agar bentrokan kedua suporter tidak terjadi.
Saya melihat sendiri ratusan personel polisi mengapit sekitar 2.400 suporter setibanya mereka di Newcastle setelah datang menggunakan bus dan kereta api.
Para suporter dilindungi oleh belasan polisi berkuda dan juga beberapa van polisi anti huru-hara.
Friksi paling jelas terjadi saat para suporter Sunderland mendekati St James' Park, venue pertandingan.
Tukar menukar cacian tak terhindarkan. Tidak sedikit pula jari tengah mengacung dari tangan-tangan kedua set pendukung.
Lempar-lemparan cerawat dan beberapa benda lain tetap terjadi.
Terlihat (dan tercium) jelas, para suporter ini sudah menenggak satu-dua gelas bir sebelum ke stadion walau Kepolisian Northumbria melarang pub-pub di Newcastle menjual alkohol sebelum jam 10 pagi.
Namun, di tengah ribuan orang dan volume desibel yang membuat telinga pekik tak pernah satu saat pun saya merasa terancam situasi akan lepas kendali.
Polisi dengan sangat baik membarikade kedua set suporter sehingga mereka tak berani melakukan provokasi secara berlebih.
Pengamanan sama ketatnya dilakukan polisi setelah laga berakhir ketika 1.500 suporter diantar balik ke stasion kereta dan 800 ke bus-bus yang menunggu sekitar 15 menit berjalan kaki dari St. James' Park.
Persiapan matang dan kesabaran kepolisian menghapus segala ketakutan akan terjadinya kejadian tak diinginkan tahun pada tahun sebelumnya.
Kepolisian Northumbria juga sangat proaktif dan meletakkan diri mereka sebagai barikade hidup untuk memastikan situasi aman dan tanpa kendala.
Di saat suasana kian panas dan terjadi eskalasi tensi, mereka tetap tenang dan tidak gegabah.
“Para suporter berperilaku baik hari ini sehingga derbi Tyne-Wear berlangsung sangat lancar,” ungkap komandan operasi pengamanan, Chief Superintendent Steve Neill, di situs resmi Kepolisian Northumbria.
"Saya ingin memuji suporter kedua kubu yang bekerja sama baik dengan petugas di lapangan. Mereka sangat sabar dan memberlakukan hari ini dengan sangat spesial," tuturnya.
Hal ini tampak berbeda di Indonesia.
"Polisi cepat sekali memukul atau menyemprotkan gas air mata," ujar Herdian Lesmana, koordinator Jakmania wilayah Manggarai pada wawancara dengan Tempo.
“Kami ini suporter sepak bola, bukan teroris. Sebentar-sebentar ada gas air mata, ini justru akan memancing kerusuhan,” lanjut Uban.
(Baca Juga: Persib Vs Persija - Suporter Persija Tewas, Begini Penjelasan Kapolrestabes Bandung)
Menurut saya, kelancaran pengamanan ini bisa terjadi karena tiga faktor: 1. Suporter yang dewasa; 2. Profesionalitas polisi dan trust yang mereka bangun bersama masyarakat; 3. infrastruktur memadai.
Kedewasaan suporter tentu saja diperlukan karena tak mungkin liga sepak bola profesional berjalan tanpa mereka.
Biar bagaimana pun, tidak ada manusia dengan akal sehat yang hanya diam saja melihat seseorang dipukuli sampai berdarah-darah di depan mereka.
Setelah itu, profesionalisme aparat.
Polisi di Inggris tidak lagi menganggap para penonton hanya sebagai biang masalah seperti pada era hooligan sebelum Premier League tiba pada 1992-1993.
Laporan Popplewell pada Mei 1985 setelah Tragedi Bradford di mana 56 suporter mati terbakar di Stadion Valley Parade menyimpulkan bahwa klub punya tanggung jawab untuk perawatan dan keamanan fisik stadion.
Namun, polisi yang punya hak de facto untuk mengorganisir massa selama laga.
High visibility vest, baju berwarna kuning terang yang dipakai polisi di Inggris membuat para suporter tenang mengetahui bahwa mereka berada di bawah perlindungan polisi.
Pada kondisi normal, kita tidak lagi melihat polisi mengamankan laga Liga Inggris dengan mengacungkan senapan mereka.
Peter Waddington, seorang professor kebijakan sosial di Universitas Wolverhampton, mengatakan kalau polisi Inggris menolak membawa senjata karena tanggung jawab utama kepolisian Inggris terletak kepada publik.
Trust yang terbangun antara para suporter dan pihak kepolisian Inggris juga sudah membaik. Sebaliknya, karena satu dan lain hal, rasa percaya antara pendukung sepak bola lokal dengan aparat Tanah Air masih belum terjalin.
Nah, problema ketiga tidak kalah sulit dan memerlukan solusi jangka panjang, yakni kurangnya infrastruktur memadai.
Baik itu minimnya akses ke sekitar stadion, kurangnya jalan sebagai nadi perhubungan, atau tidak adanya sistem transportasi massal modern di berbagai kota tugas aparat Indonesia memang kian berat.
Mustahil memang mengatur pergerakan massa dengan efektif dari dan menuju stadion-stadion Tanah Air, terutama di kota-kota besar seperti Medan, Surabaya, Jakarta, dan Bandung.
Pilu di sepak bola Indonesia memang sudah terlalu banyak.
Setiap kali ada suporter meninggal, kita selalu bilang "biarlah ini menjadi yang terakhir". Nyatanya, tragedi berulang lagi dan lagi.
Dalam hal ini kita harus ingat apa yang pernah diungkapkan oleh Roberto Martinez pada acara 25 tahun peringatan Tragedi Hillsborough, yang merenggut nyawa 96 suporter Liverpool.
"Bagaimana bisa seseorang meninggal kala menonton tim kesayangan mereka? Ini tidak benar. Ini tidak adil," ujar Martinez yang ketika itu menjabat sebagai pelatih Everton.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar