Menyebut nama Raden Maladi tak bisa jauh-jauh dari wacana perjuangan bangsa Indonesia, sepak bola, juga langgam keroncong.
Dalam 1 bulan ini, euforia publik Indonesia terhadap sepak bola sedang tinggi.
Setelah SEA Games 2017, kini disusul Piala AFF U-18.
Meski di SEA Games hanya mendapat medali perunggu, namun harapan kebangkitan sepak bola Indonesia semakin membesar.
Apalagi, Egy Maulana dkk tampil menawan di laga pertama Piala AFF U-19 Grup B melawan Myanmar, Selasa (5/9/2017).
Meski tertinggal lebih dulu, Garuda Muda akhirnya bangkit dan menang 2-1 berkat dua gol Egy Maulana.
Harapan bahwa sepak bola akan bangkit kembali semakin besar.
Seperti lagu ciptaan R Maladi, "Di Bawah Sinar Bulan Purnama", memancarkan harapan agar Indonesia merdeka dan jaya.
Demikian juga dalam konteks sepak bola, lagu R Maladi itu seolah mengajak kita terus bermimpi terhadap kejayaan sepak bola Indonesia yang sekarang sedang mekar di bawah sinar bulan purnama.
"Beribu bintang taburan
menghiasi langit hijau
menambah cantik alam dunia
serta murni pemandangan
Di bawah sinar bulan purnama
hati susah jadi senang
si miskin pun yang hidup sengsara
semalam itu bersuka"
Cuplikan refrain lagu "Di Bawah Sinar Bulan Purnama" itu cukup pas menggambarkan betapa bertaburan bintang-bintang di Indonesia, menghiasi langit dan menambah cantik alam dunia.
Saatnya kegembiraan menebar, tak peduli miskin atau kaya. Sebab, semua akan indah jika sepak bola Indonesia berjaya.
Maladi sendiri merupakan seorang pesepak bola legendaris.
Berposisi sebagai penjaga gawang, ia memulai kariernya bersama PSIM Yogyakarta pada tahun 1930.
Dari sanalah ia memulai terlibat dalam pembentukan Perserikatan Sepak Bola Indonesia.
Sebuah upaya yang tak sekadar pembentukan organisasi, tapi juga sarana perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka lewat sepak bola.
Pria yang lahir di Solo, 13 Agustus 1912 itu juga pernah memperkuat Persebaya Surabaya.
Lalu, ia menjadi langganan penjaga gawang timnas Indonesia.
Kariernya sebagai penjaga gawang dilakoni hingga tahun 1940-an.
Sepuluh tahun kemudian ia menjadi ketua Federasi Sepak Bola Indonesia.
Setelah berhenti dari posisi pemain, justru Raden Maladi terlibat aktif dalam perjalanan federasi dan pembentukan Perserikatan Sepak Bola Indonesia.
Pada masa kepemimpinannya di Perserikatan Sepak Bola Indonesia, diketahui Maladi mengubah nama organisasi dari Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia menjadi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 1951.
Dalam perjalanan di PSSI, sosok Maladi-lah yang mendatangkan Tony Pogacnic.
Pelatih timnas Indonesia asal Yugoslavia itu berhasil membawa timnya menahan Russia 0-0 di Olimpiade Melbourne 1955.
Sebuah prestasi luar biasa, karena saat itu sepak bola Uni Soviet sebagai juara Eropa dan merupakan kekuatan besar dunia.
Sebelumnya, Pogacnik mengantar Indonesia ke semifinal Asian Games 1954 dan 1958 (Indonesia berhasil meraih perunggu pada Asian Games 1958).
Tidak berhenti pada federasi, Maladi pernah beberapa kali menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia hingga tahun 1962 dan lanjut bertugas sebagai Menteri Olahraga empat tahun kemudian.
Selain menjadi seorang yang dekat dengan dunia olahraga, Maladi juga merupakan musisi yang menciptakan karya-karya legendaris musik langgam dan keroncong.
"Di Bawah Sinar Bulan Purnama" salah satu master piece-nya, selain "Biola Tiga Satu Suara".
Dan, "Di Bawah Sinar Bulan Purnama" merupakan sebuah harapan dan impian agar Indonesia jaya.
Maladi meninggal dunia pada usia 89 tahun, tepatnya pada tanggal 30 April 2001.
Hingga akhir hayatnya, Maladi masih tercatat sebagai Ketua Dewan Kehormatan PSSI.
Untuk mengenang jasa-jasanya, Pemerintah Kota Solo pada tahun 2003 menyematkan nama Raden Maladi sebagai nama pengganti Stadion Sriwedari, Surakarta yang kemudian dikembalikan namanya menjadi Stadion Sriwedari pada tahun 2011.
Maladi memang telah tiada, tapi dia telah meninggalkan banyak hal dalam sepak bola Indonesia.
Bahkan, kala menciptakan lagu pun bisa menjadi inspirasi sepak bola Indonesia.
Editor | : | Hery Prasetyo |
Sumber | : | wikipedia, FB/ kabar kabar PSIM Jogja, ussa.edu |
Komentar