Laga kontra Peru bisa menghadirkan kenangan buruk buat Argentina. Peru adalah kubu yang membuat Albiceleste gagal untuk pertama kali di kualifikasi.
Penulis: Christian Gunawan
Argentina akan selalu dianggap sebagai salah satu peserta terbaik Piala Dunia (PD). Mereka dua kali menjadi juara dunia (1978 dan 1986) selain tampil di tiga final lainnya.
Sayang, mereka tak selalu hadir di putaran final PD. Albiceleste tiga kali menolak berpartisipasi. Penolakan itu khas gara-gara darah panas Amerika Latin.
Di Prancis 1938, Argentina bersama Uruguay tak ikut ambil bagian karena marah. Alasan kemurkaan mereka adalah dua turnamen beruntun di Eropa (setelah 1934 di Italia).
Di Piala Dunia 1950, Tim Tango absen karena pertikaian dengan Federasi Sepak Bola Brasil, CBF.
Brasil adalah tuan rumah perhelatan itu. Empat tahun kemudian di Swiss, Argentina masih menolak berkompetisi.
Jika tak ngambekan, Argentina dengan kemampuannya sangat mungkin berpartisipasi di tiga pergelaran itu. Namun, di luar tiga PD itu, Albiceleste sekali gagal lolos.
Di kualifikasi PD 1970, Argentina membutuhkan kemenangan dengan selisih tiga gol untuk bisa melewati Peru dan Bolivia.
Jika mampu melakukannya di partai pamungkas Grup 1, Albiceleste akan unggul selisih gol dari kedua rival. Argentina menatap keuntungan berlaga di Buenos Aires di laga terakhir versus Peru.
Tim Tango berniat tak sekadar membalas kekalahan pada pertemuan pertama di Lima. Apa daya, Teofilo Cubillas cs. bisa dua kali unggul. Argentina hanya bisa memaksakan hasil seri. Rafael Albrecht cs. gagal lolos ke Meksiko 1970.
Empat tahun sebelumnya di Inggris, Argentina mencapai perempat final, terjauh setelah final 1930, sebelum disingkirkan tuan rumah.
Laga di Wembley itu dikenang secara negatif karena beberapa insiden. Antonio Rattin menjadi pemain pertama yang mendapatkan kartu merah di PD.
Rattin cukup lama menolak meninggalkan lapangan sebelum akhirnya dikawal polisi. Argentina juga menilai Geoff Hurst off-side sebelum mencetak gol pada menit ke-78.
Usai laga, pelatih Inggris, Alf Ramsey, tak mengizinkan timnya bertukar kostum dengan pemain Argentina.
Ramsey menyebut pemain lawan sebagai “binatang”.
Kubu Argentina menyebut laga itu El Robo del Siglo atau Perampokan Abad Ini.
Ditopang pembentukan opini oleh media Inggris usai insiden 1966, reputasi Argentina merosot.
Absensi Albiceleste empat tahun kemudian tak menghasilkan kehilangan.
Apalagi, dunia menyaksikan sihir menawan, juga dari Amerika Selatan.
Sihir Jogo Bonito Meksiko 1970 senantiasa dikenang sebagai salah satu pergelaran paling menarik.
Atraksi datang dari sejumlah peserta, terutama dari Amerika Selatan seturut tren pemenang Piala Dunia yang berasal dari benua yang sama.
Argentina layak gusar. Peru bisa menembus perempat final. Uruguay ke semifinal.
Salah satu alasan utama menariknya Meksiko 1970 adalah penampilan Brasil.
Selecao dihuni bakat-bakat alami luar biasa yang menyajikan permainan menyerang nan indah, jogo bonito.
Pele, yang sudah dua kali merasakan kenikmatan mengangkat trofi Piala Dunia, adalah bintang utama Brasil yang dibesut Mario Zagallo.
Namun, Selecao juga diisi nama-nama yang kemudian melegenda seperti kapten Carlos Alberto, Jairzinho, Tostao, dan Rivelino.
Sejak kualifikasi sampai final di Azteca, Mexico City, Brasil tak pernah mencicipi kekalahan atau hasil imbang.
Langkah Selecao tak selalu mulus, tapi mengundang decak kagum.
Puncaknya apa lagi jika bukan final di Azteca, salah satu partai puncak paling berkesan dalam sejarah Piala Dunia.
Italia, dihuni bakat-bakat hebat seperti Roberto Boninsegna, Gigi Riva, dan Gianni Rivera, beberapa kali mengancam gawang Brasil.
(Baca Juga: Begini Pandangan Hanis Saghara terhadap Sang Pelatih Indra Sjafri)
Tim Samba membuka skor melalui tandukan Pele menyambut umpan Rivelino dari sayap kiri.
Gli Azzurri membalas melalui Boninsegna setelah Brasil keasyikan menari di lapangan sendiri.
Babak kedua menunjukkan keunggulan Brasil dalam organisasi permainan mengandalkan naluri para pemainnya.
Bola tembakan keras kaki kiri Gerson dari luar kotak penalti bersarang di pojok kiri gawang Enrico Albertosi.
Umpan Gerson dari dekat garis tengah lapangan diteruskan Pele dengan sundulan ke arah Jairzinho, yang melesat untuk gol ketiga.
Sang sayap mencetak gol ketujuhnya di Meksiko, menjadikan dirinya bersama Alcides Ghiggia, sayap Uruguay di PD 1950, sebagai pemain yang selalu mencetak gol di semua laga timnya selama putaran final hingga laga puncak.
Empat menit sebelum akhir laga, Brasil membangun serangan menawan dari lapangan sendiri. Proses terciptanya gol melibatkan Tostao, Gerson, Pele, tarian Clodoaldo melewati hadangan empat pemain Italia, Evaraldo, dan Rivelino.
Nama yang disebutkan terakhir mengirim bola ke Pele, yang berada di depan kotak penalti. Si Nomor 10 menyodorkan bola ke dalam kotak penalti.
Bek kanan, Carlos Alberto, melesat dan segera melepaskan geberan yang tak terhadang Albertosi.
Gol sang kapten dikenang pula sebagai salah satu gol terbaik di final. Brasil meraih gelar ketiganya.
Maaf, Argentina... Dunia membicarakan Brasil saat itu.
Editor | : | Bagas Reza Murti |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar