Dunia jurnalisme olahraga Indonesia kehilangan salah satu sosok terbesarnya dengan kepergian wartawan senior, Sumohadi Marsis.
Sumohadi Marsis tutup usia pada Minggu (24/12/2017) pukul 05.55 WIB di usia 73 tahun karena penyakit jantung.
BolaSport.com pernah berbincang dengan pria yang akrab dipanggil Mas Sumo ini pada 2008 silam.
Pria yang menerbitkan buku Enaknya Wartawan Olahraga ini menceritakan pengalamannya mendirikan Tabloid BOLA pada 1984, media olahraga yang tetap berkibar sampai sekarang.
"Asal muasal BOLA berawal dari ide pak Jakob Oetama yang sudah ada cukup lama. Pak Jakob merasa Kompas ketinggalan dalam segmen media olahraga, sehingga saya dan Ignatius Sunito diberi mandat membuat proyek tabloid olahraga untuk grup Kompas Gramedia.
Kami merekrut kurang dari 10 orang sebagai tenaga awal, semua dari kalangan dalam Kompas. Bola terbit pertama kali pada akhir 1983 dengan 16 halaman, sebagai sisipan Kompas Jumat.
Hal itu kami lakukan sebagai perkenalan kepada pembaca.
Oleh karena itu, kami juga berbangga, BOLA langsung menduduki peringkat atas tabloid olahraga, berdasarkan oplah penjualan.
Hal ini tentu dikarenakan, sebagai sisipan di Kompas, oplah kami sama dengan koran harian utama Indonesia tersebut.
Setelah empat tahun bersama Kompas, BOLA memutuskan berdiri sendiri, untuk lepas dari induk kami. Sebenarnya, BOLA mendapat tekanan luar biasa dari para petinggi Kompas.
Kami sempat diragukan dan dituduh bunuh diri apabila meninggalkan Kompas.
Namun, dengan dengan semangat ’45, atau semangat bambu runcing, kami tetap memberanikan diri dan terbit pertama kali pada Maret 1988.
Hari ini, dunia olahraga Indonesia berduka dengan kepulangan wartawan senior, Sumohadi Marsis, pada usia 73 tahun. Beliau merupakan pendiri dan Pemimpin Redaksi Tabloid BOLA (1984-2004). Berikut adalah beberapa foto Almarhum dengan ikon-ikon dunia olahraga. pic.twitter.com/zLGkKiwzCQ
— BolaSport.com (@BolaSportcom) December 24, 2017
Pada awalnya ruang kerja kami masih sangat sederhana, kantor kami yang terletak di Palmerah Selatan sangat sempit walaupun karyawan kami belum banyak.
Perusahaan tabung gas yang beroperasi tepat di sebelah kantor membuat suasana kerja sangat tidak nyaman, terutama saat deadline.
Proses penulisan naskah jaman kami berjalan sangat lamban, karena masih menggunakan mesin tik, yang memakai komputer baru satu-dua orang.
Penulis harus menulis ulang apabila terdapat kesalahan sebelum halaman tersebut diberikan kepada bagian layout yang berada di lantai dua.
Deadline menjadi hari dengan kadar stress luar biasa karena suara-suara keras yang datang dari perusahaan gas tersebut.
Keadaannya ketika itu memang jauh dari ideal, tapi berkat bantuan Tuhan yang membimbing, BOLA bisa melewati masa-masa awal dengan relatif lancar."
Pertengahan 1990-an BOLA dibuat jadi dua edisi mengingat sangat banyak hal yang bisa terjadi dalam seminggu.
Pada awalnya edisi Selasa dibikin berbeda, lebih ke segmen anak muda. Namun, beberapa lama kemudian kami tidak membedakan lagi kedua edisi tersebut.
Namun, cobaan datang. Resesi ekonomi sempat membuat BOLA kelimpungan.
Alhasil, biaya yang membengkak membuat dinas luar negeri ditekan. Namun, BOLA tetap berusaha memberi yang terbaik dan memuaskan pembaca dan mengirim tiga wartawan ke Piala Dunia 1998, termasuk saya sendiri.
BOLA bisa menjadi besar karena royalitas pembaca dan daya tarik tersendiri yang BOLA miliki.
Hal ini cukup menarik karena walaupun sudah ada televisi, internet yang sudah gratis, tapi BOLA masih tetap menjadi tabloid olahraga utama di Indonesia.
Semua itu juga berkat bantuan Tuhan yang membimbing dalam semua perjalanan BOLA.
Kontribusi BOLA ke olahraga nasional juga cukup baik, kritik dari kita sering diterima, minimal jadi bahan pemikiran dan wacana.
BOLA juga mengkritik demi kebaikan, perubahan demi kemajuan, sehingga kadang tidak pandang bulu. Niat kami hanya untuk memajukan olahraga Indonesia."
Mas Sumo menggeluti profesi wartawan selama 30 tahun, di mana ia meliput langsung ke 30 negara di 4 benua termasuk Piala Dunia 1998, 1990, dan 1986, SEA Games 1977-2003, dan Australia Terbuka.
Mas Sumo menjadi saksi langsung gol "Tangan Tuhan" Diego Maradona. Seperti semua orang, ketika itu ia tidak langsung sadar bahwa Maradona telah menceploskan si kulit bundar dengan tangannya.
Pria kelahiran Kutoarjo pada 8 Juli 1944 ini menyampaikan ke BolaSport.com bahwa wawancara favoritnya adalah dengan Maradona sendiri dan Mike Tyson.
Selama kariernya, ia juga pernah bertemu langsung ikon-ikon dunia olahraga lain seperti Sir Stanley Rous (eks Presiden FIFA), Pele, Johan Cruyff, dan Franz Beckenbauer.
Ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid BOLA dari 1984 hingga 2004.
Selain itu, namanya tercatat pada beberapa organisasi keolahragaan seperti SIWO PWI, PB ISSI, hingga KONI.
Selamat tinggal Mas Sumo!
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar