BOLASPORT.com - Empat besar di Premier League, semifinalis Piala Liga, dan yang lebih bergengsi, satu tempat di final Liga Champions.
Tottenham Hotspur memang telah melampaui ekspektasi banyak orang dengan rutin lolos ke Liga Champions dalam empat musim belakangan, tapi tak ada yang mengira mereka bisa mencapai final musim ini.
Padahal, persiapan awal musim Tottenham sangatlah berantakan.
The Lilywhites mengalami musim panas paling buruk yang bisa diimpikan para suporternya: tim pertama sepanjang sejarah Liga Inggris yang tak mengakuisisi satu pemain pun, serta persiapan pramusim yang terganggu Piala Dunia 2018.
Mereka tak punya uang akibat membengkaknya biaya stadion baru, 11 pemain mereka terlibat di fase gugur Piala Dunia, 9 di antaranya menembus semifinal, yang berarti, terpaksa menjalani libur lebih lama.
Baca Juga: Christian Eriksen Konfirmasi Ingin Tinggalkan Tottenham Hotspur
Mereka menghadapi musim baru dengan muka-muka lama. Nyaris separuh kekuatan tim tak mengikuti persiapan pramusim sama sekali.
Ketika Premier League ditabuh pada 11 Agustus, pemain-pemain seperti Harry Kane, Jan Vertonghen, dan Hugo Lloris hanya sempat berlatih empat hari.
Itu belum termasuk Son Heung-min yang terbang lagi ke Indonesia untuk mengikuti Asian Games.
Mauricio Pochettino kemudian dikultuskan setelah mampu melayarkan kapal seretak itu.
Sepanjang musim Liga Inggris, ia selalu mencari solusi akibat didera krisis demi krisis. Tiga kiper utama semuanya sempat diturunkan.
Kala bek tengah habis, ia menaruh Ben Davies yang aslinya seorang bek kiri.
Kala gelandang bertahan tak tersedia, ia memanggil pemain 18 tahun Oliver Skipp, bahkan sempat menaruh Danny Rose.
Fernando Llorente pun kebagian jatah di menit-menit penting di paruh kedua musim.
Pelatih asal Santa Fe tersebut juga harus bergelut dengan psikologis pemainnya yang jengah lantaran terus-terusan bermain di Wembley.
Mereka berniat menjadi musafir hanya untuk semusim, tapi stadion baru tak kunjung rampung.
Rose bahkan terang-terangan mengungkapkan kebosanannya pada bulan Desember, "Saya tak lagi merasa terhormat bermain di Wembley."
Baca Juga: 3 Calon Klub Kuda Hitam Baru di Liga Champions Musim 2019-2020
Atmosfer stadion lebih datar, dan suporter perlahan tak mau repot-repot menghadiri Wembley, yang terletak di sisi lain London.
Rasanya, bila dibandingkan Manchester United, saat Jose Mourinho terus-terusan sambat tak diberi pemain bintang, atau ketika melihat Fulham dengan gelontoran 100 juta pounds tapi terdegradasi, sesuatu yang terjadi di Tottenham perlu diingat sebagai salah satu torehan terbaik dalam sejarah olahraga.
Semua orang menyebut Pochettino sebagai otak intelektual prestasi itu, tapi sangat jarang kita mendengar kredit untuk Daniel Levy.
Publik Inggris sudah lama mendengar mitos soal pria botak penggemar berat sekaligus chairman Tottenham tersebut.
Dia bos terpelit di antara klub enam besar.
Struktur gaji tiap pemainnya dibatasi hanya sekitar 100 ribu pounds per pekan, tak bisa dibandingkan dengan duo Manchester, Liverpool, Arsenal, atau Chelsea.
Dia keras kepala, negosiator yang alot.
Sir Alex Ferguson bahkan mengakui, dalam proses transfer Dimitar Berbatov pada 2008, ketika ia berhadapan dengan Levy, ia menyebutnya “lebih menyakitkan daripada operasi pinggulku”.
Jalan ninja seorang chairman tak bisa disamakan dengan para pemain dan pelatih. Seorang ketua klub hanya akan dibicarakan jika ada sesuatu yang salah di tubuh klub tersebut.
Baca Juga: Usai Final Liga Champions, Tottenham Hotspur Siap Beli 4 Pemain Baru
Dengan Tottenham konsisten berada di papan atas Liga Inggris, rasanya Levy bisa dianggap lebih baik daripada, katakanlah Ed Woodward.
Kisah Levy dan Spurs sendiri dapat dirunut sejak ia masih bocah.
“Saya mengingat datang ke sini (White Hart Lane lama) lebih dari 50 tahun lalu, menonton pertandingan melawan QPR, dan memakai hiasan rosette,” ucapnya suatu hari.
Levy tumbuh cerdas sembari menyemai kecintaannya pada klub itu, lalu menjadi sarjana ekonomi di Cambridge.
Bersama koleganya Joe Lewis, ia mendirikan konsorsium olahraga English National Investment Company (ENIC), yang kelak digunakannya untuk mengakuisisi klub-klub Eropa seperti Rangers, Slavia Praha, AEK Athens, dan FC Basel.
Sebagai pemegang tiket musiman Spurs, ia akhirnya membeli 27% (kini dilaporkan memegang 29,3%) saham klub tersebut dari Sir Alan Sugar pada 2000.
Setahun kemudian, ia didapuk sebagai chairman. Misinya cuma dua, membesarkan Spurs dan mencari uang untuk Spurs.
Ditinjau dari segi finansial, Levy terlihat cukup berhasil.
Pada tahun-tahun terakhir tinggal di White Hart Lane (yang cuma berkapasitas 36 ribu), Spurs merupakan klub dengan stadion terkecil dalam 20 teratas klub terkaya dunia versi Forbes.
Ketika stadion baru rampung, Spurs mencatat rekor dunia keuntungan tahunan sebuah klub sepak bola profesional.
Mereka total meraup 106 juta pounds pada musim 2017-2018. Nilai klub pada 2019 pun melonjak menjadi 1,6 triliun pounds, meningkat drastis 33% dibanding tahun lalu.
Lantas, berapa yang didapat Levy atas semua kerja kerasnya? Upahnya saat ini merosot hingga menjadi 3 juta pounds.
Padahal, ia sempat menjadi direktur dengan bayaran termahal di Premier League pada 2016-2017 dengan upah 6 juta pounds.
Tidak ada satu pun pemain Tottenham yang melampauinya dengan gaji sebesar itu, dan Levy memastikan ia tak makan gaji buta.
Tak disokong dompet tebal syeikh dari Timur Tengah maupun taipan minyak Rusia, tak mengherankan jika Levy terpaksa mengetatkan ikat pinggang untuk anggaran teknis.
Baca Juga: Ada Rumor Siap Pensiun, Lee Chong Wei Buka Suara
Gaji para pemain dibatasi di kisaran 100 ribu pounds per pekan, yang membuat tak ada satu pun pemain Spurs yang bercokol di 10 besar pemain dengan gaji tertinggi di Premier League.
Spurs sejak lama dikenal mempekerjakan pemain kualitas wahid dengan gaji “di bawah standar”, hal yang membuat pemain-pemain terbaik seperti Luka Modric atau Gareth Bale terpaksa dijual.
Selama sedekade terakhir, Levy berkeringat lebih dari biasanya.
Ia mengawal pembangunan stadion baru Tottenham, dengan konstruksi pembangunan pertama dilakukan pada 2015.
Biaya untuk proyek ini pada awalnya ditaksir 400 juta pounds, lalu disinyalir membengkak hingga 750 juta pounds, dan dengan iklim Brexit yang tak kondusif, barangkali tak kurang 1 triliun pounds telah tergelontorkan.
Levy dan Pochettino berulang kali menyatakan Spurs akan lebih besar dengan stadion baru. Terlihat benar adanya, mengingat kapasitasnya hanya kalah dari Old Trafford, dengan tribune tunggal selatan berkapasitas 17.500 orang telah melampaui The Kop yang legendaris di Anfield.
Stadion ini juga mempunyai dua permukaan lapangan—pertama di dunia- dengan tujuan menghelat American Football.
Spurs telah mengikat kontrak dengan NFL di stadion baru ini, dengan minimum dua laga NFL akan digelar tiap tahunnya.
Stadion ini terasa lebih spesial lantaran usaha Levy mengembangkan area sekitar, “Kami ingin membangun sesuatu yang lebih dari sekadar stadion.”
Dalam wawancara langka dengan Evening Standard, Levy telah menciptakan seribu lapangan pekerjaan dan berinvestasi di sektor transportasi dalam skema pengembangan daerah yang disebutnya “area terlupakan di London”.
Tottenham Hotspur Stadium akan mendatangkan lebih banyak penonton, lebih banyak sponsor, dan lebih banyak uang.
Dalam dua-tiga tahun ini mungkin Pochettino akan irit belanja untuk menutupi biaya stadion, tapi setelah itu, siapa yang tahu.
“Stadion ini akan membawa kami ke level berikutnya secara global,” ucap Levy mantap.
**
Mukhammad Najmul Ula.
Najmul.ula@gmail.com
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar