BOLASPORT.COM - Di era keterbukaan, pengelolaan klub sepakbola, terlebih seperti klub Persis Solo yang sudah mengakar dan identik dengan masyarakat Surakarta sudah sewajarnya ditangani lebih transparan dan profesional.
Pemilik klub Persis Solo harus punya orientasi hasil jangka panjang, baik dalam segi prestasi dan manajemen klub demi memuaskan shateholder, seperti klub anggota yang berjumlah 26 klub, fans fanatik, sponsor, pemangku wilayah dan pengelola Stadion Manahan, Solo.
Hal itu ditekankan pengamat olahraga, Fritzs Simandjuntak, terkait dengan problem yang dialami Persis Solo, salah satu klub tertua di Indonesia yang lahir pada tahun 1923.
Meski sejak 2015 klub tersebut sudah berbadan hukum dengan nama PT Persis Solo Saestu (PT PSS), dan pada tahun 2016 juga telah menggandeng PT Syahdana Property Nusantara (PT SPN) sebagai investor, namun Persis Solo belum juga bangkit dari keterpurukan prestasi.
Juara perserikatan tujuh kali itu harus puas bermain di Liga 2 dan belum bisa promosi ke Liga 1.
Baca Juga: Caketum dan Exco PSSI Mengadu ke Menpora Jelang Kongres PSSI, Ada Apa?
"Di era terbuka seperti sekarang ini, dimana informasi bisa diakses siapa saja serta indikator keberhasilan dalam pengelolaan klub sepakbola bisa diukur dari berbagai faktor, seperti prestasi, kualitas pemain atau pelatih yang dikontrak, serta track record pemilik atau manajemen klub, maka klub sepakbola harus transparasi dalam pengelolaannya,” kata Fritzs Simanjuntak.
“Jika tidak, maka yang muncul adalah ketidakpercayaan, hilangnya dukungan, dan akhirnya, penolakan atau boikot terhadap klub tersebut," ucapnya menambahkan.
Problem yang tengah menimpa Persis Solo bermula dari pelepasan 70% saham dari total 90% saham yang dimiliki oleh SHW di PT PSS kepada Vijaya Fitriasa tanpa melalui mekanisme RUPS.
Artinya akuisisi tersebut dinilai tidak sah dan secara cacat hukum sebab dilakukan tanpa melibatkan Her Suprabu sebagai perwakilan dari Masyarakat Solo dan 26 Klub Internal Persis yang memiliki saham di situ.
Terkait dengan proses akuisi yang bermasalah tersebut, belakangan diperoleh info bahwa kepemilikan saham mayoritas atas Persis dipakai oleh Vijaya Fitriasa untuk melegitimasi ambisinya mengincar posisi elit di tubuh PSSI.
Namanya tercatat sebagai satu di antara delapan calon ketua umum PSSI yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) nomor 3/10/2019.
Selain itu, janji yang pernah diembuskan Vijaya, seperti mendatangkan pemain asing yang bemain di level 2 di negara asalnya untuk memperkuat skuad Persis Solo sampai saat ini belum terpenuhi. Rekam jejak Vijaya pun dipertanyakan.
Baca Juga: Update Klasemen Liga 1 2019, Persib Bandung Kembali Ke 10 Besar
Selain hanya tercatat sebagai pemilik klub lokal Jakarta United Football Club (JUFC), dengan prestasi sebagai juara Liga 3 DKI Jakarta, Vijaya tidak punya pengalaman mengelola klub profesional yang berlaga di kompetisi nasional liga 1 ataupun liga 2.
Dengan menjadi owner baru Persis, maka rekam jejaknya akan bertambah, telah mengelola klub sepakbola profesional meskipun baru sebatas Liga 2.
Tak heran jika hingga saat ini, suporter dan Walikota Surakarta selaku pemangku wilayah dan pengelola Stadion Manahan, Solo masih menanti Vijaya dan Sigit Haryo Wibisono, pemilik saham terbesar kedua Persis Solo juga untuk menjelaskan secara terbuka apa yang tengah terjadi di klub tersebut serta menuntut supaya polemik perihal akuisisi saham segera diakhiri dengan membicarakan hal ini di RUPS.
"Saya menyarankan agar manajemen Persis Solo lebih terbuka dan transparan dalam menjelaskan apa yang terjadi dan rencana jangka panjang klub tersebut. Termasuk soal akuisisi yang menjadi problem tersebut," ucapnya.
"Transparansi harus diambil klub tersebut, karena hal itu bisa pula mengundang investor-investor lain yang memang ingin serius membangun Persis Solo," ujar Fritzs.
Editor | : | Taufan Bara Mukti |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar