BOLASPORT.COM – Satu hal yang perlu diingat dari sela-sela euforia Piala Menpora 2021, turnamen pramusim ini bukan obat yang bisa menyembuhkan sepakbola Indonesia dari Covid-19.
Sudah satu tahun lamanya sepakbola Indonesia terserang penyakit aneh. Covid-19, yang menjangkiti manusia di seluruh dunia, ternyata menular pula pada bidang-bidang kehidupan lain, termasuk sepakbola.
Sudah sejak Maret tahun lalu, sepakbola Indonesia berhenti bergulir akibat pandemi. Tingkat penyebaran Covid-19 di Tanah Air yang masih tinggi membuat kompetisi resmi, baik Liga 1 dan Liga 2, tak bisa bergulir dalam satu tahun terakhir. Bahkan, rencana untuk kembali menggulirkan liga musim lalu terpaksa dua kali dibatalkan karena tak mendapat izin dari pihak kepolisian.
Namun, dua laga uji coba timnas U-22 Indonesia pekan lalu menjadi tonggak sejarah baru dalam kehidupan sepakbola Indonesia. Laga uji coba skuad Garuda Muda melawan Tira Persikabo (5/3/2021) dan Bali United (7/3/2021) menjadi tanda kembalinya sepakbola di Bumi Pertiwi.
Baca Juga: Laga Pembuka Gelaran Piala Menpora 2021 Masih Dirundingkan
Hal ini tentu layak dirayakan dengan sukacita. Sebab, bagaimana pun juga, sepakbola bagi sebagian orang sudah laksana agama yang ibadahnya perlu dilakukan setiap saat.
Kembalinya sepakbola Indonesia tentu menjadi kabar bahagia bagi banyak orang, mulai dari para pemain dan perangkat pertandingan yang kehidupannya bergantung dari sepakbola, hingga para suporter yang sudah kepalang rindu menonton laga-laga seru.
PSSI, dengan segala kekurangannya, telah berusaha menghadirkan pertandingan yang aman dan nyaman di tengah pandemi Covid-19 lewat penerapan protokol kesehatan yang ketat. Laga digelar tanpa penonton. Jumlah orang yang hadir di stadion dibatasi. Tes swab sebelum bertanding. Ini bisa jadi modal yang bagus untuk menggelar Piala Menpora 2021 yang akan dimulai 21 Maret nanti.
Hanya saja, di balik semua gegap gempita dan sorak sorai atas kebangkitan sepakbola nasional, saya masih merasa pesimistis dan takut. Siapkah kita menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk dari penyelenggaraan sepakbola di tengah pandemi?
Baca Juga: Eks Pemain Timnas Indonesia Buka Suara setelah Raih Hasil Seri di Liga Malaysia
Indonesia bukan Vietnam atau Malaysia, apalagi Eropa
Sudah sejak lama, sejumlah stakeholder sepakbola nasional bertanya pada PSSI dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) soal kompetisi yang tak kunjung digelar. Banyak pelatih dan pemain merongrong agar liga bisa segera dimulai kembali dengan janji menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Beberapa dari mereka kemudian membanding-bandingkan dengan kondisi sepakbola di negara-negara lain yang bisa jalan terus meski sama-sama dihantam pandemi.
Vietnam dan Malaysia menjadi dua negara Asia Tenggara yang paling sering disebut karena sudah bisa menggelar kompetisi sejak Juli 2020. Ada pula yang membadingkan dengan sepakbola Eropa macam Jerman, Inggris, atau Prancis yang sanggup melewati badai pandemi tanpa masalah.
Saya paham, tidak adanya kompetisi di Indonesia menghantam kondisi finansial para pemain, pelatih, ofisial, hingga perangkat pertandingan yang kehidupan dapurnya ditentukan dari pendapatan di sepakbola. Mereka yang mencurahkan hidupnya di sepakbola juga pasti merasakan kekosongan jiwa saat tak bisa lagi beraktivitas layaknya pelaku sepakbola.
Baca Juga: Nasib di Piala Menpora Belum Jelas, PT LIB Tunggu Konfirmasi Persipura Pekan Depan
Hanya saja, perlu diingat, Indonesia bukanlah Vietnam atau Malaysia, apalagi Eropa. Membandingkan sepakbola di negara-negara itu seharusnya disertai dengan perbandingan cara pemerintah dalam menangani Covid-19. Perlu disadari, dan diakui, Indonesia kalah jauh dari negara-negara yang disebutkan di atas.
Dilansir dari Worldometers.info, hingga Selasa (9/3/2021), hanya ada 2.524 kasus Covid-19 di Vietnam. Dari jumlah tersebut, hanya 35 orang yang meninggal dunia sedangkan 1.930 pasien dinyatakan sembuh.
Dengan jumlah yang sedikit itu saja, Vietnam berani menstop liga ketika ada lonjakan kasus Agustus 2020 lalu. Padahal, kasus di Vietnam saat itu terbilang minor bila dibandingkan dengan Indonesia, ‘hanya’ menambah jumlah kematian dari tiga orang menjadi 10 orang.
Bila dibandingkan dengan negara-negara Eropa, Indonesia memang belum terlalu parah. Dari situs yang sama, peringkat Indonesia baik dari segi jumlah kasus, total kematian, dan total kasus aktif masih jauh di bawah Inggris, Prancis, atau Jerman.
Namun, yang tak boleh kita lupakan juga, negara-negara itu punya teknologi kesehatan yang jauh lebih maju ketimbang Indonesia. Mitigasi bencana yang lebih baik juga harus masuk dalam pertimbangan ketika membandingkan sepakbola Tanah Air dengan negara-negara tersebut.
Mereka juga punya aturan ketat dalam regulasi olahraga di era pandemi. Inggris misalnya, hanya membolehkan sepakbola bergulir di taraf profesional. Artinya hanya Liga Premier hingga kasta keempat, League Two, yang boleh bergulir. Sementara liga-liga amatir dihentikan total.
Baca Juga: Persija Jakarta Tak Gentar Meski Gabung Grup Neraka di Piala Menpora 2021
Kalau membandingkan dengan Indonesia, malah kebalikannya. Laga-laga fun football yang pengawasannya minim justru jalan terus. Pemerintah juga kurang mengawasi pelaksanaan olahraga di level mikro yang justru berpotensi menjadi klaster penularan Covid-19.
Sudah jamak di media pemberitaan soal bagaimana rumah sakit di seluruh penjuru negeri mulai kolaps. Tenaga kesehatan berguguran. IGD tak lagi sanggup menampung pasien Covid-19.
Jika itu diabaikan dan hanya ‘egois’ supaya sepakbola bisa kembali bergulir, jangan dulu berharap pandemi akan selesai dalam waktu dekat.
Baca Juga: Pimpin Zahra Muzdalifah Cs, Ini Rencana Pelatih Timnas Putri Indonesia
Apa yang bisa kita lakukan?
Menghentikan rencana Piala Menpora 2021 tampaknya bukan sebuah jawaban yang seharusnya diambil. Meski, jauh dalam lubuk hati saya, semisal langkah itu mau dipertimbangkan, saya akan mendukung. Tanpa maksud menodai kegembiraan para pecinta sepakbola, tetapi menunda euforia sesaat demi kebaikan yang lebih panjang saya pikir layak dilakukan.
Namun, jika memang Piala Menpora 2021 harus digelar sebagai bahan evaluasi kesiapan kita menggelar sepakbola, setidaknya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Sebagai penikmat, tentu saja solusinya akan sangat normatif. Menghindari stadion, berdiam di rumah, menonton lewat televisi, menyadari kalau ini masih pandemi.
Baca Juga: Antonio Conte: Saya Cuma Kantongi Kembalian Bensin, Belum Scudetto!
Anjuran-anjuran seperti itu juga sudah digaungkan oleh PSSI, PT LIB, dan sejumlah klub sejak jauh-jauh hari. Perlu dipahami, meski telah menerapkan protokol kesehatan, kita tetap saja bisa tertular Covid-19.
Vaksin juga bukan jawaban. Vaksin tidak membuat kita terhindar dari kemungkinan tertular Covid-19. Sebab, fungsi vaksin adalah membuat tubuh kita siap ketika tertular virus corona, sehingga efeknya tidak separah orang yang belum divaksin.
Di sisi lain, ada hal substansial yang perlu dilakukan oleh PSSI dan PT LIB jika ingin sepakbola kita benar-benar aman. Sejauh ini, saya belum melihat kajian yang dilakukan secara mendalam soal pelaksanaan sepakbola di era pandemi.
Sebagai federasi dan penyelenggara, PSSI dan PT LIB seharusnya melakukan penelitian mendalam tentang keamanan kompetisi di tengah pandemi, melakukan studi kasus di negara-negara yang bisa menggelar sepakbola, dan mencari alternatif yang bisa diterapkan di Indonesia.
Yang saya pahami, PSSI dan PT LIB baru sampai tahap menjiplak mentah-mentah protokol kesehatan dari FIFA dan federasi sepakbola yang negaranya sudah bisa memutar pertandingan. Kajian ini penting, supaya kita benar-benar tahu langkah pencegahan dan antisipasi yang bisa dilakukan seandainya ada outbreak Covid-19 akibat Piala Menpora.
Tanpanya, sepakbola Indonesia hanya akan jadi ajang bunuh diri yang menghancurkan pemain, ofisial, pelatih, perangkat pertandingan, suporter, dan kehidupan sepakbola itu sendiri.
View this post on Instagram
Editor | : | Hugo Hardianto Wijaya |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar