BOLASPORT.COM - Pemandu Bakat Borussia Dortmund menyoroti masalah intensitas kompetisi sejak usia muda sebagai masalah pengembangan sepak bola di Indonesia.
Fenomena petualangan para pemain Indonesia ke Eropa jadi pemandangan baru bagi persepakbolaan tanah air.
Paling top tentu karier dua pemain di FK Senica, Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman.
Selain itu, ada nama Brylian Aldama (HNK Rijeka), David Maulana (NK Pomorac), Bagus Kahfi (Utrecht FC), dan Elkan Baggot (Ipswich Town).
Meski demikian, harus diakui tak banyak pemain Asia Tenggara yang bisa menembus sepak bola Eropa.
Hal ini mendapat tanggapan dari salah satu staff akademi Borussia Dortmund, Julia Farr.
Baca Juga: Satu Pemain PSM Makassar Akan Memulai Berkarier di Eropa
Farr yang kini berkecimpung di akademi Dortmund yang berada di Singapura, berkenan berbagi pengalaman.
Ia sejatinya mengagumi betul talenta-talenta sepak bola dari kawasan Asia atau Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Menurutnya dari sisi teknik bermain, kemampuan para pemain ini tak kalah dengan pemain yang ada di benua biru.
Baca Juga: Lawan Madura United, Riko Simanjuntak Berharap Pemain Persija Banyak yang Negatif Covid-19
Namun, ada beberapa hal yang seakan menjadi jurang pembeda antara pemain dari Asia dengan Eropa.
Yang paling kentara tentu soal fisik setiap pemain, dalam hal ini tak hanya soal postur atau perawakan badan saja.
Farr secara spesifik menyinggung tingkat kekuatan para pemain Asia Tenggara yang kurang terasah.
Selain kekuatan, faktor kebugaran juga menjadi isu paling besar bagi pemain dari kawasan Asia untuk merumput di Eropa.
Baca Juga: Tiga Pemain Timnas U-23 Indonesia Disindir Media Vietnam
"Perbedaan utama dari pemain Asia dan Eropa terletak pada kekuatan dan kebugaran," ungkap Farr dikutip BolaSport.com dari Zing News.
"Satu hal yang saya amati ketika menjadi pelatih akademi Dortmund adalah para pemain, sejak usia dini, bermain secara reguler," ujar Farr.
Perbedaan mendasar lainnya mengapa pesepak bola Indonesia kurang dari sisi fisik dan kebugaran adalah intensitas.
Di Eropa, setiap tim sejak usia muda bakal rutin berkompetisi dengan lawan-lawan yang tangguh.
Baca Juga: FK Senica Tidak Bisa Daftarkan Witan Sulaeman Karena Sanksi FIFA?
Di Jerman misalnya, seorang anak usia 13 tahun di akademi Freiburg bakal berhadapan dengan tim-tim besar seperti Bayern Munchen, Dortmund, hingga Schalke setiap tahun.
Hal itu tentu bakal memacu setiap pemain untuk mengembangkan kekuatan fisik, teknik, serta mental bertanding.
"Mereka berlaga melawan musuh yang kuat dan tangguh."
"Di sana, mereka akan menghadapi Schalke, Cologne, atau Freiburg."
Baca Juga: Timnas U-23 Malaysia Bertemu Pratama Arhan di Piala AFF U-23, Gelandang Harimau Malaya: Tidak Takut
"Itu membantu para pemain muda untuk mengembangkan kemampuan fisik dan teknik mereka."
Karena itu, sepakbola Indonesia, umunya dalam hal ini Asia Tenggara untuk mengejar ketertinggalan dalam intensitas kompetisi dan latihan.
Penting untuk setiap pemain muda agar dapat bermain secara reguler sejak usia dini.
"Di sepak bola sangat penting untuk bermain secara reguler," lanjutnya.
Baca Juga: Shin Tae-yong Akui Belum Bisa Pastikan Kondisi Skuad Timnas U-23 Indonesia
"Sepak bola Asia harus menyusul negara Eropa dalam hal intensitas latihan dan jumlah klub profesional," ucap Farr.
"Itu akan membantu para pemain muda untuk meningkatkan kemampuan di area tertentu," pungkasnya.
Editor | : | Bagas Reza Murti |
Sumber | : | Zingnews.vn |
Komentar