,
BOLASPORT.COM - Saat berbicara soal sepak bola yang terlintas pasti sebagai olahraga laki-laki. Label ini masih begitu melekat di masyarakat kita hingga sepak bola putri Indonesia hanya dipandang sebelah mata.
Tak banyak yang tahu siapa saja pesepak bola perempuan di Indonesia dari jaman masih jaya-jayanya hingga saat ini.
Atau mungkin sudah ada yang tahu mengenai sepak bola putri Indonesia bahwa sebenarnya ini sudah ada sejak lama.
Hanya saja tak ada yang mengetahui perkembangan sepak bola putri Indonesia karena hingga saat ini tak ada kompetisi.
Baca Juga: SEA Games 2021 – Timnas Voli Putra Jaga Asa Emas, Timnas Putri Buru Perunggu
Untuk urusan kompetisi, sepak bola putri bahkan dinyatakan tidak sebagus cabang olahraga lain seperti basket, bulu tangkis, voli, ataupun yang lain.
Cabor tersebut masih memiliki kompetisi terstruktur dan sangat berbeda dengan sepak bola putri yang tidak terdengar nama kompetisinya.
PSSI dinilai tak menunjukkan keseriusannya dalam menggarap sepak bola wanita.
Situasi yang terjadi ini apakah perlu dimaklumi begitu saja karena timnas putri Indonesia masih miskin pretasi?
Sehingga perempuan masih dianggap sebelah mata di lapangan hijau karena mereka sulit menunjukkan kealihannya saat mengelola si kulit bundar.
Pada tahun 2022 ini bahkan tak banyak perubahan yang terjadi saat berbicara terkait sepak bola putri di Indonesia.
Diskriminasi dan seksisme acap kali sering terjadi karena sepak bola masih begitu identik dengan maskulinitas sehingga adanya persepsi yang menimbulkan bias gender.
Permasalahan ini pada dasarnya bukan hal baru di dunia sepak bola Tanah Air.
Dari tahun 2015 hingga saat ini para penggiat hingga pemain timnas putri Indonesia terus menyuarakan agar sepak bola wanita tak dianggap sebelah mata.
Baca Juga: Resmi - Pemain Timnas Putri Indonesia Sabreena Dressler Gabung Klub Australia
Mantan pemain sepak bola putri, Yati Sumaryati hingga Papat Yunisal juga terus berupaya untuk mengembangkan sepak bola putri.
Saat ini, salah satu pemain timnas putri Indonesia yang terus menyuarakan keadilan agar tak ada perbedaan untuk sepak bola putri dan putra yakni Shalika Aurelia.
Perempuan pertama Indonesia yang berkarier di klub Eropa Serie B Italia AS Roma itu belakangan ini menuntut agar ada kompetisi khusus untuk sepak bola putri.
Ia terus menyuarakan agar ada wadah untuk para perempuan yang bisa tetap berlatih dan berlaga di lapangan hijau secara terartur.
Shalika Aurelia mengaku sebenarnya ia cukup prihatin dengan apa yang terjadi pada sepak bola putri di Tanah Air.
Sebab hingga saat ini belum juga ada kompetisi yang bisa digelar secara teratur seperti layaknya sepak bola putra yang setiap tahunnya bergulir.
Sebelumnya untuk Liga 1 khusus sepak bola putri memang baru digelar perdana pada tahun 2019.
Saat itu Persib Bandung sukses keluar sebagai juara Liga 1 putri seusai menaklukan Persikabo Kartini melalui agregat 6-1 di final.
Akan tetapi, kehadiran liga sepak bola wanita tertinggi di Indonesia ini tak lagi dilanjutkan pada dua tahun terakhir akibat adanya pandemi Covid-19.
Terkait ditiadakannya kompetisi ini, Sekertaris Jendral (Sekjen) PSSI, Yunus Nusi pun membeberkan alasan pihaknya tak menggulirkan Liga 1 putri.
Menurutnya dengan tidak mengulirkan kompetisi untuk tim putri ini karena PSSI tak ingin membebani klub Liga 1.
“Kami tidak mau terlalu membebani klub Liga 1. Sebab mereka harus juga mengurus tim U-20, U-18, dan U-16 di Elite Pro Academy (EPA) yang menjadi tanggung jawab klub Liga 1 juga,” ujar Yunus Nusi kepada awak media, Selasa (1/6/2022).
Pernyataan itu pada dasarnya tidak ada yang salah karena PSSI ingin meringankan beban klub Liga 1.
Akan tetapi, apakah ini hal lumrah apabila memilih meniadakan kompetisi untuk sepak bola putri itu menjadi pilihan terbaik.
Tidak adanya prestasi mentereng dari timnas putri Indonesia atau akibat alasan klise karena sepak bola putri kurang diminati.
Padahal dalam AFC Licensing Regulation Standard cukup jelas yang mengharuskan setiap klub profesional memenuhi sejumlah syarat salah satunya mewajibkan tim membentuk tim putri.
Namun, diwajibkannya memiliki tim putri ini justru menimbulkan pertanyaan baru yakni apa tujuannya apabila tidak adanya kompetisi yang digulirkan.
Setelah terakhir dan pertama kali kompetisi Liga 1 Putri 2019 digelar hingga saat ini belum juga ada kepastian.
Meski ada kabar bahwa Liga 1 putri akan digelar tahun 2022 ini.
Namun, ini hanya dalam bentuk wacana bahkan belum ada rencana yang tersusun akan digelar kapan untuk Liga 1 putri ini.
Wakil Sekjen (Wasekjen) PSSI, Maaike Ira Puspita mengatakan bahwa Liga 1 Putri ini memang direncanakan akan digelar tahun ini.
Hanya saja PSSI belum bisa memutuskan kapan rencana Liga 1 khusus tim putri itu digelar.
Baca Juga: 26 Pemain Timnas Wanita Indonesia Ikuti TC di Jakarta, Tidak Ada Zahra Muzdalifah dan Pemain Eropa
Sebab saat ini PSSI pun tengah disibukkan dengan banyaknya agenda internasional yang akan digelar di Tanah Air seperti Piala AFF U-19 2022 hingga persiapan untuk Piala Dunia 2023.
“Kalau bicara soal Liga 1 Putri ini pasti jalan. Tetapi terkait kapannya kami belum bisa menjawab,” kata Maaike Ira Puspita kepada BolaSport.com, Sabtu (25/6/2022).
“Tidak di anak tirikan (untuk sepak bola putri). Kami tetap melakukan pendampingan kepada klub, hanya saja bukan hal yang mudah untuk kami menjalankan bersamaan. Kami mengusahakan Liga 1 Putri akan tetap bergulir tahun ini,” ucapnya.
Rencana digelarnya Liga 1 putri ini memang mengacu pada kesuksesan timnas putri Indonesia yang berhasil kembali tampil di Piala Asia pada 2022 lalu.
Timnas putri Indonesia sukses kembali ke Piala Asia setelah 33 tahun absen atau terakhir kali tampil di ajang tersebut pada tahun 1989.
Tuntutan Berprestasi
Kembali tampil ke Piala Asia, timnas putri Indonesia diharapkan tak hanya ikut berpartisipasi saja.
Akan tetapi, skuad berjulukan Garuda Pertiwi tersebut diharapkan mampu berbicara banyak saat menghadapi tim-tim di Piala Asia.
Apalagi para Srikandi terakhir kali mencatatkan prestasi terbaiknya di Piala Asia itu pada tahun 1986.
Kala itu, timnas putri berhasil menempati peringkat keempat seusai takluk dari perebuatan juara ketiga dari Thailand lewat skor 1-3.
Ditambah lagi timnas putri juga baru empat kali tampil di Piala Asia yakni pada edisi 1977, 1981, 1986, dan 1989.
Oleh karena itu, diharapkan timnas putri bisa kembali membangkitkan sepak bola wanita di Indonesia.
Namun, harapan hanya berakhir dengan harapan tanpa hasil.
Saat pertama kali timnas putri Indonesia tampil justru mereka harus mengakui kekalahan terbesar sepanjang sejarah.
Pada laga perdana timnas Indonesia harus menelan kekalahan telak 0-18 dari Australia di Mumbai Football Arena, India, Jumat (21/1/2022).
Kekalahan ini pastinya meyakinkan untuk timnas putri Indonesia, sebab mereka dijadikan lumbung gol oleh Australia.
Lebih mirisnya lagi, timnas putri menjadi bahan tertawaan karena dihabisi oleh Australia.
Mereka juga bahkan menerima banyak komentar negatif setelah menelan kekalahan tersebut.
Namun, siapa yang menyangka ternyata kekalahan ini tak cukup mengejutkan bagi pemain timnas putri Indonesia berprestasi seperti Shalika Aurelia.
Menurutnya timnas Indonesia kalah talak dari Australia memang hal yang wajar karena para pemain timnas selama ini tak bisa merasakan atmosfer pertandingan.
Tidak adanya kompetisi atau liga tentu saja memiliki pengaruh besar menurut Shalika.
Apalagi tim yang menjadi lawan mereka sekelas Australia yang sudah memiliki banyak pemain hebat yang memang berkarier di Eropa.
Seperti diketahui, terdapat deretan pemain Liga Super Wanita (WSL) atau dikenal sebagai Liga Inggris-nya sepak bola wanita.
Pemain-pemain label Eropa, khususnya WSL di antaranya adalah Caitlin Foord (Arsenal WFC), Emily Gielnik (Aston Villa), Hayley Raso (Manchester City), Kyah Simon (Tottenham Hotspur), dan Samantha Kerr (Chelsea).
Selain itu, ada Ellie Carpenter (Olympique Lyon) dan Mary Fowler (Montpellier) yang bermain di kompetisi Divisi 1 Feminine (Liga Perancis-nya sepak bola wanita).
Dengan memiliki banyaknya pemain yang sudah tampil secara reguler, Australia juga menjalani pemusatan latihan (TC) di Dubai tepat sebelum lawan timnas putri Indonesia.
Ditambah lagi, tim dari Negara Kanguru tersebut juga menggulirkan kompetisi tersetruktur setiap tahunnya.
Sehingga Shalika menilai kekalahan besar timnas putri Indonesia itu bukan hal mengejutkan.
Negara tanpa kompetisi dan hanya mengandalkan TC selama satu bulan sebelum menghadapi kejuaraan tertentu bergulir pastinya tak bisa berbicara banyak.
“Mereka inginnya dengan tidak ada proses, tak ada liga terstruktur dan tak ada tim, tetapi mereka pengennya kami berkutik di Asia, kan itu tidak mungkin,” ujar Shalika Aurelia kepada BolaSport.com terpisah, Jumat (24/8/2022).
Shalika bahkan tak segan mengatakan bahwa timnas putri Indonesia sebenarnya belum masuk dalam standar tampil di Piala Asia.
Hanya saja saat itu Indonesia lolos ke Piala Asia karena memang beberapa negara mundur seperti Korea Utara.
Dengan kata lain timnas putri Indonesia lolos ke Piala Asia itu hanya karena keberuntungan.
Indonesia saat itu hanya menang melawan Singapura dan memastikan lolos ke Piala Asia.
Menurutnya, mengalahkan Singapura itu sudah termasuk hal bagus karena akan memalukan apabila negara besar seperti Indonesia kalah dari negara yang tak lebih besar dari Ibu Kota Tanah Air, Jakarta.
Tetapi situasi itu membuatnya, menilai bahwa timnas putri memang belum bisa berbicara banyak terkait prestasi ketika kompetisi saja tidak ada.
Para perempuan ini tidak bisa mengasah kemampuannya saat menghadapi lawan-lawan yang memiliki kualitas lebih bagus.
“Masih terlalu jauh (berbicara soal prestasi). Jangan jelek-jelekinin pemain yang sudah memberi 100 persen untuk Indonesia,” kata Shalika.
Menurutnya semua perempuan yang mendapat panggilan ke timnas selalu bekerja keras saat TC dilakukan selama satu atau dua minggu.
“Tapi bagaimana org yang baru latihan seminggu sampai satu bulan harus mengalahkan orang-orang yang sudah main satu tahun. Itu kan tidak mungkin, karena semua itu butuh proses,” ucapnya.
“Tuhan itu adil, kan tidak mungkin kita menang lawan Australia yang pemain-pemainnya kelas dunia di saat kami latihannya sendiri belum seperti mereka. Mereka sudah memiliki pemain kelas dunia saja, mereka masih melakukan TC di Dubai.”
Menjalani TC tentu saja ada uji coba melawan tim yang juga tak kalah kuat agar tim bisa lebih baik lagi.
Dengan situasi itu, tentu bukan hal aneh apabila masyarakat menuntut timnasnya untuk berprestasi.
Baca Juga: Debut Manis Shalika Aurelia di Roma CF, Main Satu Babak dan Catat Cleansheet
Namun, bagaimana mungkin timnas putri Indonesia dituntut banyak hal apabila hal mendasar yakni sebuah kompetisi saja tidak ada.
Walaupun akhir-akhir ini memang diadakan banyak turnamen-turnamen untuk tim putri.
Tetapi, Shalika dengan tegas mengatakan adanya turnamen untuk tim putri pun tak akan menolong menurutnya.
Turnamen hanya akan digelar selama satu bulan, berbeda dengan kompetisi yang bisa saja bergulir tiga bulan atau sampai enam bulan.
Apabila kompetisi diterapkan, tentu saja para perempuan ini akan memiliki lebih banyak waktu bertanding dan pastinya bisa menambah banyak pengalaman menghadapi satu lawan satu.
“Tidak bakal membantu atau mengubah situasi karena yang kami butuhkan sebenarnya butuh Liga yang terstruktur di mana, perempuan-perempuan ini bisa latihan setiap hari dan bertanding reguler karena kalau misal turnamen ini kan hanya dikumpulin satu minggu dan habis itu latihan satu minggu setelah itu sudah dan setelah tanding sudah ngilang lagi ini entah ke mana. Jadi tidak mungkin berkembang,” lanjut pemain yang menjalani trial dengan Chelsea hingga West Ham tersebut.
Pemain yang juga menjalani trial di Bayern Munchen Women pada tahun 2021 itu memang terus bersuara agar Liga 1 di Indonesia dapat digelar.
Hal ini karena Shalika menilai bahwa banyak pemain hebat di Indonesia yang bisa lebih berkembang apabila ada kompetisi.
Shalika juga menyebut bahwa saat ini level sepak bola Indonesia masih tak berbeda jauh dengan saat tampil di Asian Games 2018 lalu.
Masih belum ada perkembangan sama sekali saat negara-negara tetangga terus menunjukkan peningkatan.
Bahkan timnas putri Filipina sukses mencetak sejarah dengan berhasil lolos ke Piala Dunia Wanita, sedangkan Indonesia masih hanya jalan di tempat.
Sementara itu, prestasi timnas putri memang kian meredup dan catatan terbaik mereka terakhir hanya mampu meraih medali perunggu di SEA Games 1997 dan 2002.
Berbanding Terbalik
Melawan diskriminasi di lapangan hijau memang terus dilakukan oleh Shalika Aurelia hingga Zahra Muzdalifah.
Akan tetapi, semua itu tak berjalan dengan mudah karena adanya perbedaan perlakuan yang diterima tim sepak bola putri Indonesia dengan sepak bola tim putra.
Sepak bola wanita Indonesia minim kompetisi dan adanya kendala soal dana.
Hal ini memang menjadi faktor utama mangkraknya sepak bola wanita di negeri ini.
Masalah kompetisi sepak bola wanita ini memang masih menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi PSSI di bahwa kepengurusan Moachamad Iriawan.
Yunus Nusi bahkan pernah mengaku mendapatkan pemain wanita berkualitas di Indonesia jauh lebih sulit.
Tentu saja hal ini karena tak adanya kompetisi profesional, sehingga PSSI kesulitan menemukan pemain.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan kompetisi Liga 1 putra yang memang sudah bergulir setiap tahunnya.
Sehingga pelatih timnas Indonesia pun tak perlu khawatir saat harus mencari pemain berkualitas.
Sebab tim pelatih bisa memantau langsung para pemain yang bertanding baik di Liga 1 ataupun Liga 2 hingga Liga 3.
Untuk kompetisi sepak bola putra memang lebih banyak dan ada beberapa tim dari strata usia hingga senior.
Baca Juga: Permohonan Maaf Pelatih Timnas Indonesia Usai Tersingkir di Piala Asia Wanita 2022
Khusus untuk kompetisi tim putra saja sudah dilakukan dari Elite Pro Academy U-16, U-18, dan U-20.
Sedangkan untuk kompetisi tim profesional ada Liga 1 yang memiliki 18 klub peserta, setelah itu untuk Liga 2 memiliki 24 anggota klub, dan Liga 3 ada 64 tim dari 31 provinsi.
Perbedaan dari kompetisi tim laki-laki dan perempuan cukup signifikan.
Untuk itu, masalah permintaan digelarnya kompetisi sudah terus dibicarakan dari tahun-tahun lalu hingga saat ini.
Berbicara perbedaan ini tak hanya berlaku di kompetisi saja, untuk TC timnas juga memiliki perbedaan.
Persiapan timnas Indonesia putra saat akan menghadapi sebuah kejuaraan tak tanggung-tanggung PSSI bisa menggelar TC hingga ke luar negeri.
Bahkan saat timnas U-23 akan menghadapi even SEA Games 2021 lalu, tim asuhan Shin Tae-yong juga menggelar TC di Korea Selatan.
Itu juga berlaku untuk timnas U-19 Indonesia sebelum berangkat ke Toulon Cup 2022 di Prancis.
Marselino Ferdinan dan kawan-kawan menjalani TC di Korea Selatan satu bulan lamanya.
Berbeda dengan timnas putri Indonesia yang hanya menjalani TC di Jakarta jelang menghadapi Piala Asia 2022 lalu.
TC hanya berlangsung pada 12 hingga 30 Desember 2021 dan langsung berangkat ke India pada 17 Januari 2022.
Selama TC di Jakarta, uji coba Shalika Aurelia dan kawan-kawan bahkan hanya melawan tim lokal Indonesia.
Dengan ini tentu bisa dibilang bahwa persiapan yang dilakukan timnas putri Indonesia jauh dari apa yang dilakukan skuad Garuda.
Perlakuan ini sebenarnya sudah tak mengejutkan karena ada beberapa klub juga yang selalu menyatakan agar sepak bola putri Indonesia tak dianak tirikan.
Hal ini pastinya karena adanya perlakuan yang berbeda yang diterima klub sepak bola putri dan juga putra.
Bukan hanya dari kompetisi saja, tetapi dari berkumpulnya pemain hingga saat menjalani TC di luar negeri yang lebih sering dirasakan oleh timnas putra.
Parahnya lagi timnas putri memang lebih jarang menjalani event international.
Namun, perlakuan berbeda itu tak melulu membuat Indonesia tampil garang karena beberapa kali mereka juga mengecewakan publik Indonesia.
Walaupun belum lama ini timnas putra berhasil membawa Indonesia lolos ke Piala Asia 2023 dan peringkat di FIFA pun naik.
Namun, saat berbicara ranking FIFA timnas putri memiliki catatan lebih bagus karena saat ini mereka berada di posisi ke-95.
Sementara untuk timnas putra berada di posisi ke-155 menurut update terbaru FIFA Ranking pada 23 Juni 2022.
Timnas Putri Indonesia Bak Barbie Dalam Etalase
Mengubah stigma demi membangkitkan sepak bola wanita Indonesia itu hingga saat ini masih terlalu sulit diwujudkan.
Sebab contoh nyata dengan adanya regulasi yang mewajibkan tim Liga 1 memiliki tim putri saja belum tercium kabar kapan kompetisi digulirkan.
PSSI ketika ditanya akan selalu menyatakan pasti akan digelar, akan tetapi saat ditanya kepastiannya kapan.
Semua pihak akan menyatakan bahwa untuk saat ini PSSI belum bisa memberi kepastian kapan kompetisi akan digulirkan.
Padahal permasalahan terkait kompetisi ini sudah menjadi pertanyaan ataupun bahasan basi.
Namun, PSSI sebagai federasi masih kurang serius dalam menggarap sepak bola wanita.
Sehingga tak ada bedanya kewajiban memiliki tim buat Liga 1 dengan tak adanya tim selama ini.
Kalau akhirnya lagi-lagi sepak bola putri tak juga dikembangkan dan hanya dijadikan pajangan bak boneka barbie.
Sebab boneka-boneka itu hanya akan dikeluarkan dari etalase atau pajangan saja saat benar-benar dibutuhkan.
Sama halnya dengan para perempuan yang mendapatkan panggilan untuk memperkuat timnas putri Indonesia.
Mereka baru akan dipanggil mengikuti TC timnas putri Indonesia dan baru akan menjalani latihan secara teratur selama TC tersebut berlangsung.
Latihan singkat akan diterapkan dan setelah itu para perempuan itu akan tampil di sebuah even.
Tanpa latihan dan kompetisi reguler mereka perempuan dituntut untuk bisa berprestasi dan berbicara banyak.
Apakah masalah ini bisa disebut sebagai sesuatu yang lazim?
Bahkan boneka barbie saja agar terlihat cantik dan menawan perlu perawatan yang bagus.
Bagaimana bisa timnas putri yang hanya dikumpulkan dalam waktu tertentu bisa menunjukkan penampilan luar biasa mereka?
Ada hal yang juga tak kalah memprihatinkan yakni permasalahan tim yang mana dalam regulasi menetapkan untuk tim yang tampil di Liga 1 juga harus memiliki tim putri.
Namun, kenyataannya tak semua klyb memiliki tim putri, bahkan hanya beberapa tim saja seperti Arema FC, Persis Solo, Persiba Balikpapan, dan yang lainnya hanya berbasis akademi seperti Persib.
Lebih mengejutkannya lagi, pemain timnas putri yang saat ini tengah menjalani TC di Jakarta jelang menghadapi Piala AFF 2022 yang bakal bergulir di Filipina ini.
Terdapat 26 pemain yang ikut menjalani TC timnas putri, tetapi ada 12 pemain yang tak memiliki tim profesional tetap.
Mereka 12 pemain ini datang bukan dari tim profesional melainkan dari Asprov, pastinya berbeda dengan timnas putra yang jelas datang dari tim profesional.
Situasi dan kondisi ini tentu saja sangat miris karena tim putra selalu memiliki tim jelas dan setelah selesai dengan kegiatan timnas kembali ke klub masing-masing.
Tetapi untuk pemain putri setelah pulang dari kegiatan timnas Indonesia entah mereka akan ke mana bagi mereka yang tak memiliki tim.
Ada tuntutan untuk berpretasi, tetapi para pemain hanya didiamkan tanpa diberi kompetisi.
Bagaimana pemain putri Indonesia bisa berkembang saat mereka tak memiliki tempat untuk mengembangkan kemampuan mereka.
Hal ini yang membuat Shalika dengan lantang dan berani mengatakan bahwa sepak bola putri negara-negara tetangga sudah berkembang jauh.
Tetapi sepak bola putri Indonesia tak menunjukkan perkembangan sama sekali.
Baca Juga: Piala Asia Wanita 2022: China Juara, Vietnam Ukir Sejarah Lolos ke Piala Dunia
Timnas putri saja diperlakukan bak berbie dalam etalase, dikeluarkan saat butuh saja, setelah itu akan didiamkan.
“Saya melihat negara Asia Tenggara lainnya juga mereka berproses cuma kita doang yang tidak berproses dan gitu-gitu saja sama terus,” tutur Shalika.
Sementara itu, timnas putri Indonesia bakal menghadapi Piala AFF Wanita yang rencananya bergulir di Filipina pada Juli 2022.
Dalam ajang ini timnas wanita bergabung dalam Grup A bersama tim-tim tangguh seperti Thailand, Singapura, Australia, Malaysia, dan tim tuan rumah Filipina.
Mereka akan berjuang di Piala AFF ini padda 4-13 Juli mendatang.
Dari babak penyisihan Grup Piala AFF 2022 ini hanya akan ada ddua tim dari masing-masing grup yang akan lolos ke babak semifinal.
View this post on Instagram
Editor | : | Mochamad Hary Prasetya |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar