Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pria yang akrab disapa Towel ini menyebut bahwa perubahan regulasi di tengah jalan justru melanggar aspek fairness atau azas keadilan bagi kompetisi itu sendiri.
"Secara sepak bola, apa yang terjadi di pekan pertama hingga ke-11 saat regulasi U-23 berlaku dengan kondisi sejak pekan ke-12 sampai selesai, kompetisi sudah tidak lagi dalam kondisi yang sama," tuturnya.
"Ini yang seharusnya tidak boleh terjadi. Regulasi mesti konsisten hingga kompetisi berjalan dalam koridor yang sama," ucapnya.
Inkonsistensi regulasi ini bisa disebut sebagai dosa PSSI terhadap kompetisi dan klub.
Regulasi U-23 awalnya diniatkan untuk mempercepat matangnya pemain yang disiapkan untuk Kualifikasi Piala AFC U-23 dan SEA Games 2017 mengingat PSSI, yang bangkit lagi dengan kepengurusan baru awal tahun ini, belum punya waktu melakukan pembinaan pemain muda.
Namun, di saat klub sudah berdamai dengan pelanggaran esensi kompetisi profesional, di mana penilaian kepantasan semestinya dilakukan berdasarkan kompetensi dan bukan faktor lain seperti usia pemain, PSSI kembali berganti sikap tanpa meminta pertimbangan klub.
Di satu sisi, tindakan ini bisa diibaratkan seperti orang yang meludah di piring yang sebelumnya dipakainya untuk makan.
"Pembatalan regulasi juga menimbulkan pertanyaan apakah regulasi ini sejak awal sudah melalui proses penelaahan yang cermat atau tidak," ujar Towel.
"Buktinya, setelah pekan ke-11 ditunda dengan alasan SEA Games. Alasan mendorong pemain muda seperti tidak serius dan tidak terencana dengan baik," kata Towel.