Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
"Jika kalian bertanya apa yang perlu dibenahi dari sepak bola Indonesia, bagaimana dengan Mauritius?" tuturnya berseloroh.
Sepak bola lokal di Mauritius tak selalu memberikan dampak positif, bahkan di luar negara tersebut sepak bola Mauritius lebih dikenal karena hal-hal negatif.
Klub di Mauritius berkembang bersama dengan perbedaan etnis dan agama di sana.
(Baca juga: Pembuktian dan Pembalasan Dendam Andre Silva kepada Italia)
Hal ini menjadikan persaingan sepak bola lokal sangat panas dengan isu-isu etnis dan agama yang selalu ada di luar pertandingan. Puncaknya adalah pada tahun 23 Mei 1999.
Akhir kontroversial dari laga Fire Brigade yang menang atas juara Liga Mauritius, Scouts Club, membuat kerusuhan antar-suporter pecah.
Ratusan fan Scouts mengamuk, membakar lahan pertanian, menyerang mobil polisi, bahkan melempar bom molotov ke dalam kasino dalam kerusuhan yang terjadi hingga tiga hari lamanya.
Tujuh orang dilaporkan terbakar hidup-hidup karena bom tersebut. Dua dari tujuh orang yang meninggal adalah anak-anak.
"Sepak bola terhenti selama delapan bulan dan pemerintah kemudian melarang klub bola jadi representasi etnis-etnis yang ada di Mauritius," ujar Yasine Mohabuth, seorang jurnalis lokal.
Kini klub didirikan atas asal daerah, bukan lagi untuk jadi representasi agama maupun etnis.
Meski hal ini membuat kerusuhan bisa ditekan, akan tetapi hal itu juga sekaligus menghilangkan sejarah rivalitas yang membuat fan enggan menonton sepak bola lokal.
Di sana, stadion kebanyakan berkapasitas tak sampai 5.000 penonton. Hanya Stadion Anjalay yang memiliki kapasitas 18 ribu orang.
Tim nasional kebanyakan memainkan laga di Stade George V dengan kapasitas 6.200 penonton dengan Stadion Anjalay hanya untuk laga-laga penting saja.