Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Sepak Bola Putri Indonesia Keren pada Era 1970-an, tetapi kini Meredup dengan Alasan Ini

By Noverta Salyadi - Selasa, 5 Desember 2017 | 15:21 WIB
Tim Sepak bola wanita Sumsel berlatih di Stadion Bumi Sriwijaya Palembang. Sumsel untuk pertama kalinya mengikuti kompetisi sepak bola wanita Piala Pertiwi 2017. (NOVERTA SALYADI/BOLASPORT.COM)

 Sepak bola putri makin bagus, termasuk di Asia Tenggara. Tetapi, sepak bola putri Indonesia bisa dikatakan nol besar sejauh ini, karena PSSI bergerak sangat lambat. Padahal pada era 1970-an, sepak bola putri Indonesia cukup keren geliatnya.

Bahkan, klaim sepak bola jadi olahraga nomor satu di Tanah Air dengan fan besar, mereka diyakini tidak banyak yang tahu soal sepak bola putri di Indonesia itu ada.

Miris jika melihat perkembangan sepak bola putri negeri ini.

Padahal, banyak bibit-bibit atlet muda yang mempunyai prestasi cukup baik, tetapi minim penyaluran. 

Sepak bola putri Indonesia memulai debut internasional pada 1977, kala itu skuat putri Garuda berhadapan dengan Taiwan pada perdana Piala Asia Putri.

(Baca juga: Dua Rekrutan Anyar Selangor FA Bisa Sulitkan Evan Dimas dan Ilham Udin)

Debut perdana Srikandi Indonesia di internasional itu memang belum menunjukkan prestasi yang membanggakan.

Tetapi setidaknya, kehadiran mereka kala itu telah bisa menunjukkan kekuatan sepak bola putri Indonesia ada.

Bahkan pada turnamen yang berlangsung di Taiwan itu, Indonesia finis pada peringkat empat.

Pada era 2000-an, sepak bola putri Indonesia cenderung menurun, terakhir para Srikandi lapangan hijau Tanah Air hanya berpartisipasi Piala AFF 2015.

Kehadiran Piala Pertiwi, turnamen yang sudah digelar sejak 2006, sedikit membuka harapan bagi kaum hawa untuk menggapai keinginan bisa unjuk gigi di lapangan hijau.

(Baca juga: Sedih, Klub Liga Jepang yang Pernah Dibela Irfan Bachdim Degradasi)

Namun, hal tersebut sempat terhenti karena Indonesia menerima sanksi dari FIFA pada 2015 sampai 2016.

Pada 2017, Piala Pertiwi kembali digelar dengan diikuti oleh 13 tim provinsi di Indonesia.

Peserta itu antara lain: Jawa Barat, Papua, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan tuan rumah Sumatera Selatan.

Walau ajang ini sebagai bagian Road to Asian Games 2018, sebagai persiapan Sumsel sebagai tuan rumah pesta olahraga se-Asia itu, setidaknya kehadiran Piala Pertiwi membawa angin segar. 

Banyak harapan dari pelatih dan pemain agar turnamen sepak bola putri ada terus dan mereka ingin PSSI mengembangkan jadi kompetisi atau liga.

(Baca juga: Liga Jepang Musim 2017 Usai, Juaranya Punya Dua Kesamaan dengan Bhayangkara FC)

Pelatih Papua, Samuel Weya mengakui perkembangan sepak bola putri sekarang ini belum mendapat perhatian khusus dari PSSI.

Padahal jika melihat perkembangan sepak bola putri di Tanah Air, diakui Weya sudah cukup menjanjikan. 

Di Papua, ajang sepak bola putri hampir sama perkembangannya dengan sepak bola putra. Tidak heran, kekuatan timnas putri Indonesia banyak bertumpu pemain asal pulau paling timur Indonesia itu.

“Papua cukup besar menyumbang untuk timnas. Ada sekitar 80 persen pemain timnas berasal dari Papua. Sayang, perhatian PSSI sangat kecil sekali untuk sepak bola putri."

"Untuk kompetisi, saya pakai lapangan atletik,. Padahal, kami seharusnya bisa bermain di lapangan yang benar-benar standar sepak bola,” ujar Samuel Weya.

Menurut Samuel, jika sepak bola putri punya kompetisi yang resmi seperti sepak bola putra, dia yakin banyak bibit-bibit bagus berasal dari daerah lain muncul, salah satunya asal Sumatera.

Untuk kompetisi U-15 saja, Bangka Belitung sudah menunjukkan prestasi bagus pada level nasional.

"Tidak ada salahnya kalau PSSI untuk lebih peduli perkembangan sepak bola putri. Ini bisa menutupi prestasi sepak bola putra yang timbul tenggelam,” tutur Samuel.

Pada Piala Pertiwi 2017, Papua menjadi unggulan, tetapi bukan berarti bakal mudah menjadi juara.

"Kami waspadai Bangka Belitung karena mereka juara U-15. Lalu daerah lain juga tetap kami waspadai apalagi yang dari Jawa dan Kalimantan,” ucapnya.

(Baca juga: Sedih, Klub Liga Jepang yang Pernah Dibela Irfan Bachdim Degradasi)

Harapan sama juga disampaikan oleh pesepak bola putri asal Jawa Barat, Danielle Daphe. 

Dia mengakui ketika pertama tertarik dengan sepak bola saat berkeliling Jakarta untuk mencari sekolah sepak bola putri.

"Usia 12 tahun, saya keliling Jakarta mencari SSB putri. Tetapi, saya tidak menemukan dan terpaksa gabung SSB putra,” ujar Danielle.

Danielle yang tercatat sebagai siswi SMA Global Sevilla Jakarta ini mengatakan, dia pernah bermain bersama anak-anak lelaki dalam suatu kompetisi internasional.

“Saya pernah bermain di kompetisi Spanyol dan Jepang waktu itu masih U-12 tahun. Saya bergabung dengan anak-anak cowok waktu dibolehkan."

"Kalau sekarang usia saya sudah 17 tahun, tentunya tidak boleh karena laki-laki tentunya punya kecepatan dan spirit yang lebih dari perempuan,” tutur Danielle.

Ditegaskan Danille, sebenarnya banyak anak-anak wanita yang mempunyai keinginan untuk bermain sepak bola.

Tetapi karena tidak adanya kompetisi yang resmi, maka keinginan itu menjadi terkendala.

“Saya berharap ke depan bisa ada kompetisi resmi sepak bola wanita seperti laki-laki. Karena, banyak sekali wanita gemar bermain sepak bola tetapi belum ada wadahnya."

Menanggapi keinginan pemain dan pelatih tersebut, PSSI telah merancang suatu kompetisi untuk wanita pada 2018.


Papat Yunisal saat menghadiri kursus lisensi C AFC di Bojongsari, Depok, Jum'at (27/2/2015).(HERKA YANIS PANGARIBOWO/BOLA/JUARA.NET )

Papat Yunisal selaku komite eksekutif (EXCO) PSSI untuk Komite sepak bola putri mengatakan, federasi sudah merencanakan untuk membuat kompetisi tahun depan.

"Pada 2018, kami berencana untuk membuat kompetisi Liga 3 agar bisa mencetak sepak bola putri profesional,” ujar Papat.

Dikatakan Papat, pada kompetisi usia muda Danone Nations Cup, PSSI akan memaksakan ada wanita, minimal 2 orang untuk masuk dalam tim yang bertanding.

Semua ini sebenarnya sudah pernah ada dalam kompetisi era 1970-an, tetapi terhenti karena kalau kalah populer dengan sepak bola kaum Adam.

“Kami membutuhkan stimulus untuk bangkitnya sepak bola putri. Makanya pada turnamen Danone, tim harus ada pemain putri dan itu mungkin jadi kewajiban,” tutur Papat.

Papat juga mengatakan PSSI, akan masuk dalam lembaga pendidikan dengan mengajukan sekolah mempunyai ekstrakurikuler bagi sepak bola putri.

PSSI juga akan memberikan subsidi bagi guru untuk mendapatkan sertifikat kepelatihan.

“Pada tingkat internasional, prestasi Indonesia sudah cukup baik untuk sepak bola putri dan itu terlaksana sejak 1977," ujar Papat. 

"Tetapi sekarang, semua kembali tenggelam untuk perlu dibangkitkan kembali, agar sepak bola putri sejajar pembinaannya dengan yang putra.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P