Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Kekalahan 0-1 atas tuan rumah Malaysia di semifinal SEA Games 2017 memperpanjang penantian pecinta sepak bola nasional untuk berprestasi, setidaknya kawasan di Asia Tenggara.
Sudah 26 tahun lamanya dahaga akan prestasi internasional berlangsung sejak Tim Merah Putih terakhir naik podium di SEA Games 1991. Sampai kapan ya kita harus menunggu?
Selepas kekalahan akibat gol tunggal Thanabalan Nadarajah di menit ke-86 itu, mata ini mencari-cari komentar di media massa, baik cetak maupun televisi dan internet, soal pencapaian Garuda Muda di SEA Games 2017.
Isinya beragam, mulai dari permainan Indonesia U-22 sebenarnya sudah bagus, Hansamu Yama cs belum beruntung, Marinus Wanewar dan kolega tetaplah pahlawan olahraga, hingga betapa skuat asuhan Luis Milla sudah memperlihatkan perjuangan heroik.
Namun, pernyataan yang dicari-cari tak kunjung ditemukan.
Entah apakah memang tak ada atau karena pandangan terhalang oleh genangan air di kelopak mata setiap kali mencoba membaca berita soal timnas di SEA Games 2017.
Hingga saat ini, belum ada stakeholder sepak bola nasional, terutama pemilik otoritas bal-balan negeri ini, yang dengan lantang menyatakan bahwa rasa pedih di hati akibat kegagalan timnas di ajang internasional sudah harus berhenti di sini!
Tidak ada yang berani dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia sudah muak dengan kagagalan demi kegagalan di lapangan hijau.
Mengapa pernyataan seperti itu penting? Mari saya ingatkan lagi dengan ucapan Tommy Welly, yang pernah menjabat sebagai Direktur Pengembangan Kompetisi PSSI, saat berbicara di Forum Diskusi BOLA tepat setahun silam.
Towel, sapaannya, kala itu berbicara soal kekalahan telak 1-13 yang dialami Filipina saat menghadapi Indonesia di Piala Tiger 2002.
Skor memalukan tersebut rupanya betul-betul dijadikan tonggak oleh Filipina untuk berubah hingga kemudian bisa ganti menang 4-0 atas Indonesia di Piala AFF 2014.
"Ketika bertemu dengan pengurus federasi sepak bola Filipina, mereka bilang pada saya bahwa kekalahan 1-13 atas Indonesia di Piala Tiger 2002 menjadi momentum yang betul-betul digarisbawahi. Selama 12 tahun mereka belajar dengan segala macam cara untuk menekuk Indonesia."
"Walaupun memakai pemain naturalisasi, tetapi jangan lupa bahwa pembangunan sepak bola di Filipina juga berjalan selama 12 tahun itu," kata Towel.
Rasa muak telah memaksa Filipina belajar. Hal itu juga yang perlu kita lakukan saat ini. Ya, belajar!
Tidak cukup lagi sekadar memuji permainan Satria Tama cs sebagai perjuangan heroik.
Tidak pantas lagi cuma menghibur diri dengan menyatakan bahwa tim asuhan Luis Milla punya potensi besar di kemudian hari.
Thailand, Vietnam, Myanmar, hingga Malaysia bisa berdiri di posisinya saat ini karena mereka telah belajar dan berbenah.
Meminjam unggahan status seorang kolega di media sosial: "Ini soal ilmu, Amangboru!"
Selain belajar, ada satu hal lain yang perlu betul-betul dicamkan dan dilaksanakan.
Marilah berhenti berbuat dosa di sepak bola kita.
Lihat saja yang dilakukan PSSI sejauh ini. Baru bangkit kembali di awal tahun dengan kepengurusan baru, PSSI dengan gagah menyebut target merebut medali emas SEA Games 2017 dan lolos ke empat besar Asian Games tahun depan.
Saya bukannya tak percaya bahwa terkadang ada hal yang bisa didapat secara instan.
Toh dalam tulisan berjudul "Hotel Krusek" dan Bandung Bondowoso di buku Manusia dan Perjalanan, Dari Pulau Buru ke Venezia (2006), Sindhunata mengisahkan bahwa warga Unit III di Pulau Buru bisa sukses membangun dua buah bangunan gereja hanya dalam tempo sehari semalam!
PSSI memang sudah menyediakan semuanya, atau lebih tepat hampir semua, untuk pencapaian target di SEA Games 2017.
Pelatih yang punya reputasi mentereng didatangkan, pemain muda diberi jatah tampil di kompetisi profesional, hingga beberapa kali sesi pemusatan latihan yang mesti dihadiri pemain.
Tetapi, PSSI "lupa" menyediakan iklim kompetisi yang mendukung.
Para pemain, yang dipaksa matang itu, dibiarkan berkubang dalam kebiasaan kurang baik di kompetisi nasional hingga terbawa-bawa ke ajang internasional.
Contohnya? Bukankah perilaku sejumlah pemain di laga kontra Kamboja merupakan cerminan dari liga domestik?
Bukankah regulasi kompetisi yang berubah-ubah di satu sisi juga bisa dilihat sebagai dosa?
Jangan salah sangka, bukan cuma PSSI yang perlu segera memalingkan wajah dari dosa di sepak bola.
Seorang pesepak bola belia pernah menceritakan kekecewaannya pada saya.
Ketika itu, ia kecewa karena timnya menelan kekalahan di sebuah turnamen di luar negeri.
Bukan soal kegagalan yang diratapi, namun karena di dalam timnya ada beberapa pemain bayaran alias mereka yang tiba-tiba masuk skuat dengan mengeluarkan bayaran tertentu tanpa pernah merasakan proses seleksi.
Masalahnya lagi, justru pemain bayaran itu yang lebih diutamakan bermain.
Pernah mendengar kasus serupa? Atau malah terlibat? Ah, hari gini kok masih terus-terus berdosa sih!