Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
22 Indonesia asuhan Luis Milla dan timnas U-19 Indonesia besutan Indra Sjafri tahun ini. Mereka sama-sama ada di posisi tiga turnamen yang diikuti.
Saya coba sedikit membedah dan sedikitnya tujuh catatan positif serta negatif dari kedua timnas kelompok umur Tanah Air ini.
Timnas U-22 Indonesia pada SEA Games 2017 mencapai perebutan medali perunggu dan memenangi laga itu.
Sedangkan timnas U-19 Indonesia gagal ke final tetapi merebut tempat di peringkat tiga Piala AFF U-18 2017.
Dari tujuh hasil ”pembedahan” saya membagi menjadi dua kubu yaitu empat untuk hal positif dan tiga sisanya adalah catatan negatif.
Berikut ini penjelasan dari tujuh poin itu:
Timnas U-22 Indonesia dengan jumlah pemain 20 memiliki usia pemain rata-rata 20,55 tahun.
Artinya, para pemain ini mayoritas bisa main lagi dua tahun mendatang di SEA Games 2019.
Ada delapan pemain yang usianya di bawah 21 tahun. Artinya, Milla memberi pondasi bagus.
Sedangkan timnas U-19 Indonesia, rataannya usia pemain mereka tak sebagus kakak tingkatnya. Namun, keberanian Indra memakai anak usia 15 tahun (Witan Sulaeman) sebagai andalan adalah keputusan yang tak mudah.
(Baca juga: Andik Vermansah Telat Dimainkan, Selangor FA Kalah di Piala Malaysia 2017)
Mereka pelatih dengan kewibaan yang bagus, buktinya saat tim tertinggal mampu dibuat bangkit selepas jeda.
Namun untuk catatan ini, Milla sedikit lebih unggul karena sepanjang fase penyisihan Hansamu Yama Cs tak pernah kalah. Sedangkan pasukan Indra Sjafri sekali tumbang.
Dua tim kakak-adik ini untuk lolos ke semifinal dari fase grup (kebetulan sama-sama Grup B), sedikit ”tergantung” tim lain.
Namun, pemain pada laga penentuan atau partai pamungkas fase grup mereka tampil tanpa beban dan memenangi laga sesuai target lolos.
Khusus catatan ini, timnas U-19 lebih unggul karena mampu menang sesuai sasaran aman untuk lolos saat ditarget harus menang delapan gol atas Brunei.
Lalu bukti mental baja pemain kedua tim asuhan Milla dan Indra adalah saat menghadapi perebutan posisi tiga.
Kebetulan sama-sama bersua Myanmar, baik Hansamu Yama Cs maupun Egy Maulana Vikri dkk, berhasil menang menyakinkan.
Kemenangan mereka saat partai perebutan posisi tiga dengan skor yangb tidak tipis, 3-1 serta 7-1. Bukti mereka mampu bangkit setelah di semifinal gagal dan tak down spirit tarungnya.
(Baca juga: Penyerang Produktif Madura United Musim 2016 Tampil Memukau di Laga Terbaru Liga Singapura)
Kebanyakan pelatih hanya punya 11 pemain andalan dan cadangan adalah harga mati. Namun, Milla dan Indra tak alergi merotasi pemainnya, saat genting maupun santai.
Kiper salah satunya, Milla membuat Satria Tama jadi bintang, saat semua mata tertuju pada Kurniawan Kartika Ajie. Keduanya ternyata sama-sama hebat.
Begitu juga di timnas U-19, Muhammad Riyandi yang sering dapat pujian harus menyingkir dari turnamen lebih awal karena cedera, Muchamad Aqil Savik ternyata tak kalah bagus penampilannya.
Uniknya, Satria dan Savik sama-sama diragukan banyak orang sebelumnya, terutama pada warganet.
Namun untuk urusan satu ini, saya lebih menyalahkan klub dan liga domestik, yang dari dulu penyakitnya enggak hilang.
Ada pemilik klub yang suka mencak-mencak ke perangkat pertandingan, ada wasit yang tak tegas, lalu ada pelatih yang mungkin kurang wibawa di depan pelatihnya.
Semua itu efeknya ke pemain dan Milla serta Indra pasti kena getah atas semua ini. Ya, getah yang menempel di pemain pilihan mereka.
Mereka harus membuat program itu secara detail, padahal harus tak perlu. Kembali, saya menyalahkan klub yang dinaungi pemain.
Klub atau tim dari pemain pilihan dua pelatih itu bahkan tak punya pelatih fisik, dokter tim, atau fisioterapis. Artinya, si pemain datang ke timnas tanpa rekam jejak kesehatan yang bisa direkomendasikan.
Indra sih biasa dengan budaya seperti ini di Indonesia, tetapi Milla pasti pusing dengan kenyataan yang ada.
Padahal, Milla dan Indra seharusnya memanggil para pemain yang siap dengan sedikit polesan langsung joss bukan memulai semua dari awal.
A post shared by BolaSport.com (@bolasportcom) on