Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
RAKYAT Catalan melaksanakan referendum untuk menentukan masa depan region mereka pada Minggu (1/9/2017).
Sampai Senin (2/9/2017) malam WIB, 90 persen dari sekitar 2,2 juta suara yang masuk meminta Catalonia berpisah dari Spanyol dan membentuk republik sendiri.
Pemungutan suara hanya diikuti oleh 50 persen warga yang bisa ikut karena sikap keras dari Spanyol dalam memblok usaha tersebut.
Sedikitnya 800 orang dikabarkan terluka dalam bentrok dengan kepolisian Spanyol di seantero region di Timur Laut Spanyol tersebut.
Carles Puigdemont, pemimpin Catalonia, mengatakan kalau region tersebut "merengkuh hak untuk mempunyai negara independen."
Wajar, Catalonia menyumbang 20 persen GDP Spanyol, 1/3 eksport mereka, dan 21 persen dari total pembayar pajak.
Ia pun mendeklarasikan bahwa Catalonia akan mengumandangkan kemerdekaan dalam 48 jam setelah penghitungan suara selesai.
Namun, Perdana Menteri Spanyol, Mariano Rajoy, bergeming dengan posisi pemerintahannya.
(Baca Juga: Berkunjung ke Tabloid BOLA, La Liga Academy Paparkan Visi untuk Anak-anak Indonesia)
"Tidak ada referendum untuk menentukan arah sendiri di Catalonia," ujar Rajoy yang berbicara dari istana La Moncloa di Madrid.
Rajoy mengatakan bahwa kemerdekaan Catalunya ilegal berdasarkan Konstitusi tahun 1978 yang menyatakan bahwa negara Spanyol tak dapat dipecah.
Secara teori, seperti dikutip BolaSport.com dari Financial Times, Catalonia bisa saja tetap menyatakan kemerdekaan dan mulai melakukan kegiatan selayaknya negara mandiri, yakni memungut pajak dan meminta legitimasi.
Nah, dari sini arah rakyat Catalan untuk menurunkan kesebelasan sebagai negara sendiri akan rumit.
Pertama, mereka harus punya pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai syarat untuk diterima sebagai anggota UEFA.
Hal ini tertera pada Pasal III ayat 5 Statuta UEFA, "Keanggotaan di UEFA terbuka bagi semua asosasi sepak bola di benua Eropa, yang berbasis di negara merdeka dan diakui oleh mayoritas anggota PBB."
Keanggotaan di UEFA adalah syarat mutlak bagi menjadi anggota FIFA dan berpartisipasi di laga-laga kompetitif di bawah kalendar resmi FIFA, menurut Pasal 11 ayat 2 Statuta FIFA.
Sejak Ahad, referendum Catalonia mendapat banyak dukungan dari petinggi negara-negara Uni Eropa lain.
Hanya, sejauh ini tidak ada tanda-tanda bahwa Madrid bakal mengakui keberadaan Catalonia sebagai negara independen.
Hal ini akan melukai kans Catalonia mendapat pengakuan dari komunitas internasional mengingat bahwa PBB juga harus menghargai hak Spanyol memerintah daerah mereka sendiri.
Sebenarnya, Pasal 11 ayat 6 memberikan perhatian khusus terhadap asosiasi dengan kasus seperti Catalonia walau dengan catatan penting.
"Asosiasi di region yang belum merdeka boleh, dengan otorisasi anggota asosiasi di negara di mana mereka bertempat, melakukan aplikasi ke FIFA," tulis pasal tersebut.
(Baca Juga: Newcastle Vs Liverpool - The Magpies Kedatangan Pebisnis Cantik yang Bisa Mengubah Peruntungan Klub)
Bisa dipastikan, dalam hal ini RFEF (Federasi Sepak Bola Spanyol) tidak akan memberikan dukungan.
RFEF dan Presiden La Liga, Javier Tebas, bahkan telah menyatakan berdasarkan hukum Spanyol kalau Barca harus meninggalkan Liga Spanyol jika Catalonia merdeka.
Ada kans bahwa tindakan apapun yang dilakukan pemerintah Spanyol terhadap status Barcelona di Liga Spanyol bisa diartikan sebagai intervensi pemerintah dalam sepak bola.
Jika ini terjadi, FIFA punya legitimasi untuk membekukan Spanyol.
Sejauh ini, BolaSport.com mengutip dari Guardian bahwa pengumuman kemerdekaan Catalonia akan disikapi oleh Madrid dengan mengambil alih pemerintah regional Catalonia.
Kekecewaan antara para kaum separatis dan loyalis akan kian menajam dan Spanyol bisa terjerumus kian dalam ke jurang yang tidak ingin mereka inginkan.
Apabila kedua hal di atas terwujud, alih-alih keanggotaan di FIFA, Catalonia bisa menjadi medan perang.
Perihal ini, Spanyol punya kenangan buruk yakni ketika Negara Basque dan organisasi separatis mereka, ETA, berupaya memisahkan diri dan menyebabkan hampir 1000 orang meninggal dalam konflik berkepanjangan sejak 1968 hingga 2010.