Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Runner-up Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, tempat ketiga Piala Dunia 2014 di Brasil. Kalau melihat dua pencapaian itu, seharusnya untuk edisi 2018, setidaknya Belanda bisa mengulang edisi 2010.
Tetapi, bukan itu yang terjadi. Belanda tidak lolos ke Rusia 2018! Untuk play-off pun tidak ada tempat. Sudah fully booked!
Kiamat? Tidaklah. Untuk pendukung Belanda seperti saya (katanya), Belanda tidak lolos ke Piala Dunia 2018 hanyalah lanjutan dari tidak lolosnya Pasukan Oranye ke Euro 2016 di Jerman. Sudah bisa diprediksi.
Sekarang, apa yang harus dilakukan? Mencari kambing hitam?
Tentu tidak. Malah, Belanda harus meninggalkan nostalgia. Mengenang masa lalu boleh saja, namun tidak bisa dilakukan terus menerus.
Apa maksudnya nostalgia? Tiap pengamat punya pendapat soal itu. Kalau saya, nostalgia Belanda adalah mereka sangat mengandalkan yang namanya totaalvoetbal.
Pada zaman now, yang namanya formasi 4-3-3, khas totaalvoetbal, bukan lagi sepak bola total gaya Rinus Michels, si pelatih legendaris asal Belanda.
(Baca Juga: Eks Bek Inter Milan dan Timnas Italia Populerkan Becak Motor dari Makassar)
Mengapa Belanda zaman now gagal dengan formasi itu? Karena tim lain yang memakai formasi sejenis sudah berhasil mengembangkannya atau malah sudah move on, melupakan formasi 4-3-3.
Formasi yang sedang beken sekarang adalah susunan yang memakai tiga bek. Beragam angkanya; 3-4-3, 3-5-2, 3-4-2-1, dan sebagainya.
Mungkin, Belanda harus mulai memakainya.
Atau kalau mau radikal, bisa juga gaya “parkir bus” gaya Jose Mourinho.
Buruk memang, tetapi efektif. Tim lawan gagal bikin gol adalah tujuannya, sembari siap-siap mencuri bola untuk serangan balik.
Satu lagi yang membuat tim nasional Belanda zaman now gagal total menurut saya adalah mentalitas pemainnya.
Marcel Brands, Direktur Teknik PSV Eindhoven, mengedepankan masalah winning mentality yang dimiliki pemain Belanda saat ini.
Marcel Brands diskusi bareng dengan dua direktur teknik dari klub yang melengkapi PSV menjadi tiga besar tradisional Belanda: Marc Overmars dari Ajax Amsterdam dan Martin van Geel dari Feyenoord Rotterdam.
(Baca Juga: Setelah Empat Tahun, Akhirnya Lionel Messi Kembali Rasakan Bangku Cadangan)
Bisa dibayangkan kan betapa serunya diskusi mereka. By the way, diskusi mereka dilakukan pada 2014, jauh sebelum Belanda gagal lolos ke Rusia.
Waktu itu, Brands mengatakan seperti ini: “Kita telah mengembangkan banyak pemain dengan otak pintar dan kuat secara taktis. Sebenarnya, kita hanya perlu mengembangkan winning factor.
"Saya pernah ke Portugal dan mengintip tiga klub di sana: Sporting, Benfica, dan Porto. Sangat berbeda dibandingkan dengan di Belanda."
"Di sana, yang penting adalah menang. Dengan kita di Belanda, adalah kebalikannya. Penguasaan bola 80 persen, bermain indah, namun kalah 0-1.”
Brands juga membandingkan Belanda dengan Jerman. Menurutnya, Jerman sudah sangat berkembang.
Sepuluh tahun lalu, Jerman lebih banyak menganut kekuatan fisik, berlari terus. Sekarang sudah lebih banyak mengandalkan teknik.
“Mereka juga senantiasa memantau sepak bola Belanda,” kata Brands.
Ada buktinya mengapa Jerman “menyontek” Belanda.
Wim Rijsbergen, salah satu pemain memperkuat pada Piala Dunia 1974, mengatakan Rinus Michels, pelatih Belanda saat itu, mengubah mentalitas pemain.
(Baca Juga: Trio BBC Real Madrid Bisa Kembali dalam Waktu Dekat)
Bek maju menyerang, striker ikut bertahan. Bahkan, kiper pun kadang sebagai libero, bermain di luar areanya.
Perhatikan dengan “kiper menjadi libero”, kemudian ingat dengan Manuel Neuer, kiper Jerman saat ini.
Ia sering ikut mengendalikan bola di luar daerahnya. Berarti, Jerman nyontek Belanda, kan?
Kita belok sejenak ke Jerman, ya. Titik balik tim nasional Jerman adalah ketika mereka kalah 0-3 dari pendatang baru, Kroasia, pada perempat final Piala Dunia 1998.
Saat itu adalah sehancur-hancurnya Jerman. Sebab, 8 tahun sebelumnya, mereka adalah juara dunia.
Masih memakai nama Jerman Barat, Piala Dunia 1990 di Italia adalah masa keemasan Juergen Klinsmann dan kawan-kawan.
Disingkirkan Kroasia pada 1998 membuat Berti Vogts kehilangan pekerjaaaan sebagai pelatih Jerman.
Namun, hal itu murni titik balik. Jerman mulai melakukan revolusi.
Konsep yang dipakai adalah milik Dietrich Weise, seorang pelatih Jerman yang bekerja sebagian besar pemain Jerman yang memenangi Piala Dunia 1990.
(Baca Juga: Ngeri, Trio Macan PSG Menjamin 2,7 Gol dan 1,2 Assist per Partai!)
Akan tetapi, Weise memulainya dari pemain junior, sesuatu yang ketika itu dilewatkan oleh Federasi Sepak Bola Jerman, DFB.
Konsep Weise sudah diajukan sebelum Piala Dunia 1998 bergulir. Namun, hanya dimasukkan laci karena butuh biaya yang sangat besar.
Pasca-1998, konsep itu langsung dikeluarkan lagi dan tiba-tiba biaya bukan masalah. Jerman ingin sukses ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006.
Konsep Weise adalah memberdayakan pemain muda yang ada di semua region Jerman.
DFB mendirikan pusat pelatihan sepak bola di 121 region.
Setiap region menyediakan dua jam pelatihan teknik untuk setiap pemain yang berusia 13 hingga 17 tahun, tiap pekan.
Sebagai tambahan, 10 orang anak berusia di bawah 12 tahun juga akan menerima hal yang sama.
Yang untung bukan hanya tim nasional, namun yang lebih dekat ke region, yaitu klub.
Setiap klub di Jerman punya akademi dengan konsep yang kurang lebih sama.
Pendek kata, hasilnya bisa dilihat pada 2006 dan 2010, di mana Jerman berada di tempat ketiga di tanah sendiri dan kemudian di Afrika Selatan.
Puncaknya adalah juara Piala Dunia 2014, dengan Joachim Loew sebagai pelatih. Hingga saat ini, Jerman tetap menjadi powerhouse Eropa.
Satu hal yang pasti, para pemain Jerman memiliki winning mentality yang sangat kuat.
Untuk kali ini, Marcel Brands ingin Belanda bisa berbalik mengamati sepak bola Jerman.
Barangkali akan butuh waktu lama buat Belanda untuk mengikuti langkah Jerman seperti itu. Namun, untuk jangka panjang rasanya bisa dilakukan.
Cuma, Belanda harus gerak cepat. Kelar Piala Dunia 2018, seleksi untuk Euro 2020 akan dilakukan.
Euro 2020 akan sedikit unik. Belanda dan 12 negara lain sudah terpilih untuk menggelar putaran final.
Meski demikian, tuan rumah tidak lantas mendapat satu tiket otomatis untuk lolos.
Belanda dan 54 negara anggota UEFA harus melewati kualifikasi untuk mendapatkan 24 tim yang akan berlaga di putaran final.
KNVB, Asosiasi sepak bola Kerajaan Belanda, punya konsep yang dimulai pada 2014. Konsep itu diberi nama "Winnaars van Morgen" atau "Pemenang Masa Depan".
Tiga direktur teknik yang berdiskusi di atas setuju bahwa KNVB butuh seorang direktur teknik yang lebih dari sekadar mumpuni.
Jelle Goes dipilih sebagai technical manager sejak 2013. Goes adalah orang yang membangun Winnaars van Morgen.
Kemudian, pada 2016, Hans van Breukelen terpilih sebagai Direktur Teknik KNVB. Lantas, fokus Goes lantas beralih ke sepak bola junior.
Akan tetapi, pada musim 2017, Goes dan Van Breukelen undur diri dari KNVB, walau nama yang terakhir lalu kembali menempati posnya.
Alasan Van Breukelen mundur ketika itu adalah visi dirinya dan KNVB tidak bisa terwujud.
Situasi tim nasional Belanda kacau balau dengan mundurnya Danny Blind dari jabatan pelatih.
(Baca Juga: Selamat! Ana Ivanovic Mengandung Anak Pertama dari Bastian Schweinsteiger)
Kekacauan di tubuh organisasi itu memengaruhi juga penampilan Belanda di lapangan hijau.
Membuat Arjen Robben, yang terbaik di generasinya, harus undur diri tanpa punya kesempatan untuk tampil di Rusia.
Plus, kalau Belanda akan mengubah formasi 4-3-3, maka harus dimulai dari level klub.
Di Eredivisie, dari 18 klub, hanya satu yang memakai 4-2-3-1. Yang lainnya masih setia dengan 4-3-3.
Kalau ingin sukses, terkadang diperlukan langkah yang radikal.
Sekarang, tugas KNVB adalah mencari pelatih baru buat Belanda, pengganti Dick Advocaat. Siapa kira-kira?