Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Dalam musim balap sepeda tahun ini, muncul sebuah tren menarik. Para juara di ajang Grand Tour bukanlah pebalap yang sanggup mendominasi balapan.
Di ajang Giro d'Italia 2017, misalnya. Tom Dumoulin sebagai juara umum cuma dua kali menjuarai etape dari total 21 etape.
Namun, pria Belanda itu sanggup memimpin klasemen umum di 11 etape dan menjadi pemimpin klasemen di etape ke-21 alias etape terakhir.
Ia menjadi pebalap Belanda pertama yang sanggup menjuarai Giro d'Italia.
Dengan kata lain, Tom Dumoulin terus menyelesaikan etape di peleton terdepan.
Catatan waktu semua pebalap dalam sebuah peleton memang disamakan, kecuali mereka yang melakukan breakaway, biasanya 4-5 pebalap yang sprint menuju finis.
(Baca Juga: AC Milan Terancam Denda Rp 321 Miliar dari UEFA)
Ajang Tour de France 2017 malah lebih ekstrem. Juara umum balapan ini, Chris Froome, tak pernah sekali pun menjuarai etape!
Meski begitu, Chris Froome memimpin klasemen umum dalam dua periode, yakni di etape 5-11 dan 14-21.
Lagi-lagi Froome rutin finis di peleton terdepan, yang membuatnya punya catatan waktu total sangat baik.
Kisah di Vuelta a Espana 2017 juga serupa. Sang juara, Froome, hanya pernah memenangi dua etape, tetapi mendominasi klasemen umum mulai dari etape awal hingga etape terakhir, ke-21.
Kisah dari tiga balapan ini serupa, yakni mereka yang konsisten berada di rombongan terdepan punya potensi besar mengakhiri balapan sebagai kampiun.
Analogi dari dunia balap sepeda ini bisa digeser sedikit ke sepak bola, khususnya dalam persaingan Serie A 2017-2018.
Musim ini, peleton terdepan Serie A bergerak beriringan dengan kecepatan tinggi.
Hingga pekan ke-17, Napoli, Juventus, Inter Milan, dan AS Roma sudah mulai melakukan break away dan membentuk rombongan sendiri di depan.
Mereka inilah peleton terdepan Serie A 2017-2018.
(Baca Juga: Dari Persebaran Gol, Juventus adalah Tim Paling Kolektif di Liga Italia)
AS Roma di peringkat empat sudah menabung jarak 5 poin dari Lazio di peringkat lima. Kebetulan, peringkat empat itu merupakan batas akhir zona Liga Champion.
Rombongan peleton terdepan ini sungguh sulit dihentikan oleh tim-tim lain.
Betul mereka sempat tersandung, tetapi fakta bahwa Napoli dkk tetap berada di papan atas menunjukkan konsistensi yang dibutuhkan buat finis di posisi tertinggi pada akhir musim.
Bak Dumoulin atau Froome, keempat klub ini mencoba selama mungkin berada di peleton terdepan agar di fase akhir balapan masih punya peluang melakukan sprint final yang menentukan scudetto.
Bagaimana dengan tim lain seperti AC Milan yang di awal musim mencanangkan target finis di zona Liga Champion?
Apakah dengan terpisah dari peleton terdepan sudah mematikan peluang finis di empat besar atau juara?
Tentu saja tidak. Namun, beban mereka yang tercecer dari peleton terdepan sangat berat, baik dari segi fisik maupun mental.
(Baca Juga: Paulo Dybala Ketagihan Cetak Gol dari Luar Kotak Penalti)
Milan hingga pekan ke-17 baru mengoleksi 24 poin. Jarak dengan Roma saja sudah 14 poin.
Butuh kekuatan fisik luar biasa buat melakukan sprint demi memangkas jarak dengan peleton terdepan.
Butuh kekuatan mental pula buat memangkas keunggulan peleton depan.
Hanya mereka yang punya fokus prima dan tangguh, plus sedikit keberuntungan dengan hasil yang diraih tim-tim di atas, yang bisa secara spektakuler kembali ke peta persaingan empat besar atau malah scudetto.
Bisa, Milan?
A post shared by BolaSport.com (@bolasportcom) on