Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sepak bola Jerman tengah dihadapkan pada wacana penghapusan kebijakan "50+1" yang mencegah adanya investor masuk untuk menguasai klub-klub di kompetisi negara tersebut. Apa artinya ini?
Dikutip BolaSport.com dari Deutsche Welle, wacana ini bermula dari niat Martin Kind, Presiden Hannover 96, meminta pengecualian ke penyelenggara Liga Jerman (DFL) terkait rencananya mengambil alih saham mayoritas klub tersebut.
Niat Kind itu terhalang oleh aturan 50+1 yang mengikat di Liga Jerman.
Pada akhirnya, Kind mengurungkan niatnya datang ke DFL.
Toh, usaha Kind tidak sepenuhnya sia-sia.
Dalam pernyataan resminya, DFL mengatakan bahwa mereka perlu mengkaji ulang kebijakan 50+1.
Hal tersebut pun menimbulkan pro dan kontra antara klub Jerman sendiri.
(Baca Juga: Bayern Muenchen Terlalu Perkasa, Inikah Cara Merusak Kedigdayaan Mereka?)
Apa itu aturan 50+1?
Secara singkat, aturan 50+1 adalah kebijakan yang melarang pihak luar klub menguasai saham mayoritas.
Klub sendiri harus punya minimal 50 persen saham, plus satu persen tambahan untuk anggota klub.
Artinya, investor luar bakal mendapatkan maksimal 49 persen kepemilikan.
Pengecualian berlaku kalau ada pemilik saham yang sudah berinvestasi di klub selama minimal dua dekade, seperti yang terjadi pada TSG Hoffenheim, Bayer Leverkusen, dan Vfl Wolfsburg.
Dengan demikian, kita tidak akan melihat klub Jerman dibeli oleh investor asing, seperti yang terjadi di Chelsea dan Roman Abramovich atau Manchester City dengan Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan.
Namun, seperti halnya semua aturan di mana pun, aturan 50+1 juga tidak lolos dari kritik dan kajian ulang.
Apa pun keputusan DFL nantinya, tentu akan ada pro dan kontra.
PRO
Salah satu tema berulang dari mayoritas klub Liga Jerman adalah mereka jarang bisa mempertahankan pemain bintang.
Lihat saja Borussia Dortmund yang baru-baru ini kehilangan sumber gol utama mereka, Pierre-Emerick Aubameyang ke Arsenal.
Aubameyang cuma contoh kesekian Dortmund ditinggal pemain bintang mereka ke klub yang lebih besar (atau ke FC Bayern Muenchen).
Klub-klub lain juga merasakan masalah sama. Mereka kerap ditinggal pemain bintang.
Memang, ada kasus ketika pemain liga lain datang ke Liga Jerman.
Namun, kebanyakan dari mereka menjadikan klub Liga Jerman sebagai opsi kesekian untuk kariernya.
Lihat Michy Batshuayi atau Javier Hernandez yang datang ke sana "hanya" karena mereka tidak jadi pilihan utama di klub lama masing-masing, Chelsea dan Manchester United.
Alasannya, klub-klub Liga Jerman kerap punya posisi tawar lemah, terutama terkait harga pemain dan gaji.
Jika aturan 50+1 dihapus dan Jerman membuka pintu untuk investor luar, klub-klub Liga Jerman diharapkan punya sumber daya finansial untuk menjaga pemain bintang mereka atau justru membeli pemain bintang.
Anekdot di atas mungkin sudah menjelaskan soal dominasi FC Bayern Muenchen di Liga Jerman.
Kiprah tim Bavaria ini memang sulit dihentikan.
Mereka terakhir kali gagal juara liga pada musim 2011-2012. Sejak musim 2012-2013, Die Roten tidak terbendung.
Mereka juga mengakhiri musim dengan selisih angka yang besar. Bayern menyelesaikan lima musim terakhir dengan gap minimal 10 poin.
Makanya, tidak heran kalau persaingan di Liga Jerman bukanlah persaingan mencari juara.
Kompetisi hakiki di sana adalah kompetisi mencari peserta Liga Jerman serta menentukan kandidat degradasi.
Bukan salah Bayern, sebenarnya. Mereka klub paling tajir di Liga Jerman dan punya sumber daya finansial untuk merekrut dan memagari pemainnya. Wajar dong, kalau mereka jadi tim dominan?
Masalahnya, Liga Jerman kerap dicap liga yang membosankan.
Ibarat film, ending-nya sudah ketahuan dari awal.
Masih berkaitan dengan poin pertama, jika klub Liga Jerman lain punya kekuatan finansial setidaknya sama atau mendekati Bayern, mereka juga bisa merekrut pemain bintang dan menguatkan skuat.
Harapannya, jika kekuatan dan peta kompetisi Liga Jerman merata, perebutan titel di Liga Jerman bisa seseru di Liga Inggris atau liga-liga lain.
(Baca Juga: Usulan Eks Pemain Jerman untuk Hentikan FC Bayern Muenchen)
KONTRA
Pelatih Manchester United, Jose Mourinho, baru-baru ini menyindir suporternya sendiri pada laga melawan Brighton & Hove Albion dalam pertandingan Liga Inggris di Old Trafford.
Kata Mourinho, suasana di stadion berjulukan Theater of Dreams itu terlalu sunyi.
Mourinho tidak akan mengeluhkan hal itu kalau dia melatih klub Liga Jerman.
Berdasarkan data yang diterima BolaSport.com dari Bundesliga, Liga Jerman musim 2016-2017 mencatat jumlah rata-rata penonton mencapai 41.000 per laga.
Jumlah ini mengalahkan rata-rata penonton di Liga Inggris (36.000), Liga Spanyol (28.000), dan Liga Italia (22.000).
Pertandingan antara FC Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund pada Sabtu (4/11/2017) bisa jadi contoh apik.
Tidak kurang dari 81.000 penonton memadati Stadion Signal Iduna Park, Dortmund, tempat digelarnya pertandingan.
Salah satu alasannya adalah karena tiket nonton di Jerman terjangkau.
Secara umum, para suporter klub-klub Liga Jerman hanya perlu mengeluarkan 183 euro alias Rp 3 juta per musim untuk menyaksikan klub kesayangannya berlaga.
Jumlah ini hanya sepertiga dari harga tiket musiman di Liga Inggris.
Kedatangan investor asing berpotensi mengubah situasi ini, terlebih kalau ada keputusan menaikkan harga tiket.
Suporter akan sulit datang ke stadion jika aturan itu diwujudkan.
(Baca Juga: 3 Alasan Stadion di Liga Jerman Selalu Penuh)
Aturan 50+1 menjamin kedekatan antara suporter dan klub.
Penyebabnya sudah jelas, aturan itu memungkinkan himpunan suporter memiliki saham di klub.
Mereka punya andil untuk menentukan kebijakan klub dan mengkritiknya.
Jika aturan dicabut dan suporter tidak punya suara, lantas bagaimana mereka bisa mengajukan kritik dan saran sebagai pemilik hak tersebut?
Bahkan Martin Kind yang menjadi katalis munculnya diskusi ini tak lepas dari konsekuensi.
Suporter Hannover 96 yang tergabung dalam kampanye ProVerein1896 menentang rencana Kind mengambil alih klub.
Mereka mengadakan protes pada Januari 2018 untuk melawan wacana tersebut dan mengajukan berkas 50 halaman ke DFL untuk menjelaskan alasan mereka.
Menghapus aturan 50+1 akan membuat Jerman seperti Inggris.
Ada konotasi positif dan negatif dalam kalimat ini.
Dari segi persaingan liga domestik, Liga Inggris selalu dianggap paling seru karena selalu ada 2-4 tim yang bersaing untuk jadi juara.
Hanya ada beberapa musim yang jadi pengecualian ketika satu tim betul-betul dominan di liga.
Liga Jerman pun berpotensi menjadi sama serunya dengan Liga Inggris tanpa aturan 50+1.
Dengan kekuatan finansial, ke-18 tim punya kesempatan mengumpulkan pemain bintang dan menyusun kekuatan.
Namun, andaikan itu terjadi, Jerman akan mengalami nasib seperti Inggris di level tim nasional.
Selama ini, klub Liga Jerman tidak bisa jorjoran belanja pemain dengan harga selangit.
Mungkin hanya 1-2 klub yang bisa berbelanja banyak di bursa transfer karena anggaran mereka lebih banyak.
Memanfaatkan pemain muda dari akademi sendiri pun jadi opsi untuk menambah kedalaman skuat mereka.
Apalagi, aturan di Jerman mewajibkan setiap klub punya akademi pemain.
Mereka juga harus memenuhi kuota pemain berkebangsaan Jerman di timnya. Kalau tidak memenuhi syarat ini, lisensi mereka dicabut.
Tim nasional Jerman adalah pihak paling diuntungkan dengan kebijakan itu.
Die Mannschaft tidak pernah kehabisan pemain berbakat.
Tahun 2017 bisa jadi contoh kejayaan Jerman. Mereka juara Piala Konfederasi 2017 dan Piala Eropa U-21 dengan mengandalkan pemain muda.
Pada 2014, Jerman malah juara di tiga ajang: Piala Dunia 2014 (tim nasional senior), Piala Eropa U-19, serta Piala Dunia Wanita U-20.
Kalau aturan 50+1 dicabut, sepak bola Jerman perlu memutar otak agar bakat-bakat muda dalam negeri tidak tenggelam dengan kedatangan bintang asing.
Jerman tentu tidak mau bernasib seperti tim nasional Inggris yang kerap sulit mencari pemain muda berbakat.
Apa penyebabnya? Karena pemain asli Inggris kalah saing dari pemain asing.
Pertanyaannya, dengan gambaran konsekuensi seperti itu, apa Jerman sudah yakin ingin jadi seperti sepak bola Inggris?
A post shared by BolaSport.com (@bolasportcom) on