Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Saya orang Indonesia. Saya mencintai segala hal yang berbau Indonesia, termasuk sepak bola. Olahraga itu adalah cabang favorit saya, meski saya tidak memainkannya.
Karena itu, ketika mendengar bahwa Liga Indonesia, atau yang sekarang memakai nama Liga 1, musim 2018 belum jelas akan dimulai, sedih sekali saya mendengarnya.
Pertama, dengan optimistis, disebut bahwa Liga 1 2018 akan dimulai pada 24 Februari. Baiklah. Itu bagus. Lebih cepat, lebih baik.
Kemudian, diundur lagi menjadi 3 Maret. Baiklah, itu sudah biasa. Pasti akan diundur.
Terakhir, menjadi 10 Maret. Lalu, yang paling baru, belum jelas kapan akan dimulai. What?
Sudah banyak contoh liga-liga sukses yang bisa dijadikan patokan untuk menggelar sebuah liga yang mumpuni.
Misalnya Premier League atau Liga Inggris. Mungkin terlalu jauh, namun liga itu adalah contoh yang sangat nyata, meski mungkin tidak mudah untuk ditiru.
(Baca Juga: Dua Laga Piala AFC, Dua Kali Bali United Gagal Penalti)
Pertama dari segi penamaan. Liga Indonesia telah melalui banyak sekali nama. Mungkin tidak semua orang hafal nama yang mana dipakai pada periode kapan. Sekarang namanya Liga 1, lalu ada Liga 2, dan seterusnya.
Pendeknya, setiap kali penguasa PSSI berubah, berganti pula nama liga. Jadi, tidak ada sesuatu yang dijadikan pegangan. Tidak stabil.
Di Inggris, istilah First Division atau Divisi Satu dimulai pada 1892 dan nama itu terus dipakai, meski seandainya ada iklan sekali pun yang menjadi penyandang dana.
Bayangkan, 1892! Pada zaman itu orang-orang Inggris sudah memikirkan sesuatu yang bakal akan menjadi fondasi untuk sebuah kompetisi akbar, lebih dari 100 tahun kemudian.
Nama Divisi Satu lantas menghilang setelah muncul nama Premier League sejak musim 1992-1993.
Level Divisi Satu kemudian menjadi divisi dua, dan seterusnya, sesuai dengan piramida Football League milik Inggris. Terus ke bawah hingga level amatir.
Premier League juga sudah melalui banyak fase. Kadang ada iklan yang melekat di nama itu. Barclays Premier League, misalnya, ketika sebuah bank di Inggris memasang namanya.
Premier League sempat memakai nama Premiership, namun orang tetap mengenalnya dengan nama Premier League.
Premiership dipakai pada 1993 hingga 2007, kemudian berubah lagi menjadi Premier League.
Sejak 2016, tidak ada satu iklan yang menempel di Premier League.
(Baca Juga: Ini Kata Simon McMenemy soal Michael Essien dan Beberapa Eks Liga Inggris di Indonesia)
Penamaan memang penting. Bahkan, Liga Indonesia tidak bisa membuat satu nama yang merupakan identitas sepak bola Indonesia.
Saya pikir, buatlah satu nama yang langgeng. Yang sulit untuk digantikan, sebuah nama yang bagus, keren, tidak perlu kekinian. Sebab, nama itu akan berlaku hingga kapan pun.
Layaknya nama orang. Apakah setiap periode nama diri kita akan berganti? Tidak kan? Nama kita akan dipakai hingga kita meninggalkan dunia ini.
Sekarang, setelah punya identitas yang jelas, nama yang mumpuni, yang tak mungkin digeser oleh sponsor utama sekali pun, mulailah mengatur kompetisi yang teratur.
Premier League musim ini belum kelar, namun para penguasa di Premier League sudah menetapkan kapan liga musim depan akan dimulai, yaitu pada 11 Agustus 2018.
Hal itu diketahui dari jendela transfer khusus, yang hanya berlaku di Premier League, dimulai 9 Juni dan diakhiri 9 Agustus 2018, dua hari sebelum Premier League musim 2018-2019 dimulai.
Sedemikian kuatnya Premier League di mata siapa pun, sampai-sampai FIFA pun merestui bahwa liga utama Inggris itu memutuskan untuk tidak menutup jendela transfer musim panas pada 31 Agustus, seperti liga-liga lainnya.
Tidak heran juga kalau harga hak siar Premier League mencapai miliaran juta pound ketika dijual ke televisi. Kalau diterjemahkan ke rupiah, maka menjadi puluhan triliun.
(Baca Juga: Dapat Peringatan, Persija Terancam Tidak Bisa Pakai SUGBK)
Kompetisi di Inggris sedemikian rapinya, jadwal dijahit dengan cermat dengan international week yang jadwalnya dikeluarkan oleh FIFA.
Sudah jelas, pada international week, para pemain pro berubah menjadi amatir, berganti seragam klub dengan seragam tim nasional masing-masing.
Tidak ada keluhan, tidak ada protes dari para manajer klub ketika international week tiba. Semua liga pro berhenti bermain.
Beberapa waktu lalu, tim nasional Indonesia harus membela negara, namun Liga Indonesia tetap berjalan.
Pelatih klub dengan enggan, bahkan tidak mau melepas pemainnya untuk membela tim nasional.
Saya jelas tidak akan menyalahkan para pelatih. Jadwal Liga Indonesia dibuat jauh dari compatible dengan international week.
Sehingga, kalau pelatih menolak untuk melepas pemainnya ke timnas menjadi sangat wajar.
Saya tidak tahu sepelik apa menjahit jadwal liga domestik dengan jadwal FIFA. Tetapi, liga-liga di negara lain sudah melakukannya dan sejauh ini tidak ada masalah berarti.
Saya yakin, banyak orang pintar di kubu Liga 1. Mengatur jadwal mestinya bukan perkara sulit.
Belajar dari negara lain, tidak usah terlalu jauh ke Inggris. Ke Malaysia saja, atau ke Thailand.
Atau Jepang, negara yang awalnya meniru model Liga Indonesia untuk menggelar J-League.
Yang saya tidak habis pikir, setahu saya Liga Indonesia sudah ada lama. Namun, liga ini tidak punya struktur yang jelas.
Jangankan piramida sepak bola gaya Liga Inggris itu, untuk konsep degradasi dan promosi saja selalu berubah.
Bahkan, jumlah klub dalam satu divisi tidak sama.
(Baca Juga: Ternyata, Gawang di Stadion Maguwoharjo Alami Perubahan)
Bagaimana mau berkembang? Bagaimana Liga Indonesia mau dikenal di seluruh dunia? Tidak usahlah dijual untuk hak siar televisi. Siapa yang mau beli?
Sangat memalukan kalau melihat meme yang dibuat untuk liga kesayangan ini. Sepak bola Indonesia selalu disandingkan dengan olahraga yang sifatnya tarung. Aneh, kan?
Malu juga dilihat oleh orang-orang bule yang kini dengan mudah didapati di berbagai klub peserta Liga Indonesia.
Entah apa pikiran mereka ketika melihat kondisi sebenarnya dari liga yang diikutinya itu.
Atau, kita memang tidak punya malu?