Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Hari Kartini selalu memancarkan semangat emansipasi kaum perempuan. Namun, dalam ranah sepak bola di Indonesia, semangat itu sayangnya masih samar.
Berbicara soal Hari Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, wacana yang selalu menyertainya sudah tentu emansipasi alias upaya persamaan derajat dan hak perempuan.
Semangat emansipasi ini berangkat dari pengalaman hidup Raden Ajeng Kartini sendiri pada masa mudanya, di mana ia melihat para perempuan pribumi berada di posisi yang begitu rendah dalam tatanan masyarakat.
Kartini yang mengenyam pendidikan ala Belanda, sesuatu yang hanya bisa dinikmati sebagian kecil golongan pada masa itu, merasa terpanggil untuk mengubah keadaan.
Kartini Hebat! Begini Potret Kehidupan Olahraga Para Wanita pada Zaman Dulu yang Dijamin Membuatmu Berdecak Kagum https://t.co/xaquX0W8Ud
— BolaSport.com (@BolaSportcom) April 21, 2018
Saat itu, Kartini melihat kaum perempuan di sekitarnya terkerangkeng dalam budaya yang membatasi dan menghambat kemajuan serta pengembangan diri.
Melalui surat-surat yang kemudian dibukukan dengan judul Door Duisternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang oleh Jacques Henrij Abendanon, Kartini pun menumpahkan pemikiran sekaligus 'sentilan' terhadap situasi yang ada di sekitarnya.
"Apa penyebab wanita sampai dapat dijadikan objek kesenangan kaum pria, seakan-akan mereka tidak mempunyai pikiran dan pendapat atau perasaan sendiri?" Demikian salah satu pertanyaan Kartini dalam suratnya.
Memandang Perempuan di Sepak Bola Indonesia
Puluhan tahun telah terlewati sejak era Kartini. Semangat emansipasi perempuan pun terus bergaung di berbagai ranah.
Tapi kalau dikaitkan dengan sepak bola, mohon maaf, harus diakui semangatnya masih samar.
Saat ini, secara perlahan kaum hawa mulai semakin menegaskan eksistensinya di sepak bola Indonesia.
#POPULER Begini Kritik Media Asing jika Klub Indonesia Bergabung dengan A-League https://t.co/e1DbzHrPRE
— BolaSport.com (@BolaSportcom) April 20, 2018
Tahun ini saja, ada Asian Games dan Piala AFF yang menjadi ajang timnas perempuan Indonesia untuk unjuk gigi.
Tidak hanya sebagai pemain, wasit perempuan pun namanya mulai dikenal, seperti Gita Dewi Mulyani dan Deliana Fatmawati.
Nama terakhir bahkan tercatat sebagai satu-satunya wasit perempuan Indonesia yang mengantongi lisensi FIFA.
Kemudian ada pula Ratu Tisha Destria, yang menjadi sekretaris jenderal perempuan pertama yang dimiliki PSSI.
Namun di sisi lain, ada hambatan yang justru muncul dari publik sepak bola Tanah Air sendiri, di mana banyak yang belum bisa menerima pelaku sepak bola perempuan sebagaimana mestinya.
Para pelaku sepak bola perempuan belum sepenuhnya diakui sebagai orang yang memang sungguh-sungguh berkecimpung di dunia bal-balan.
Maksudnya bagaimana?
Banyak yang tidak melihat para pelaku sepak bola perempuan tersebut dari kemampuan dan prestasi sesuai peran masing-masing serta sikapnya yang sudah seharusnya menjunjung tinggi sportivitas.
Alih-alih mengapresiasi kemampuan, prestasi, dan sikap, orang malah sering menyorot mereka dengan lebih berfokus pada kecantikan paras atau kemolekan fisiknya.
Hal ini utamanya ada di dunia maya. Lihat saja bagaimana pelaku sepak bola perempuan kerap dicitrakan dalam konten-konten yang hadir di perangkat elektronik kita.
Bukan yang performanya ciamik atau sikapnya terpuji, yang ditonjolkan justru mereka yang dianggap cantik, sebuah label yang dalam upaya pengembangan sepak bola perempuan tentu tidak ada manfaatnya.
Dengan foto-foto yang dibalut kata-kata hiperbolis sebagai bumbunya, kita digiring untuk ikut merendahkan derajat para pelaku sepak bola perempuan Indonesia.
Kita sering lupa bahwa pelaku sepak bola perempuan hadir dengan misi yang tak berbeda dengan laki-laki, sebagai sosok di dunia olahraga yang sejatinya selalu berusaha mengembangkan diri dan mengukir prestasi.
Dengan demikian, sudah seharusnya perempuan dilihat secara setara dalam sepak bola, bukan sekadar sebagai pemanis belaka.
Jadwal Siaran Langsung Liga Inggris Pekan Ini - Para Raksasa Butuh Kemenangan https://t.co/7NN19VJ99b
— BolaSport.com (@BolaSportcom) April 21, 2018
Menyoroti mereka dengan berfokus pada kecantikan paras atau kemolekan fisik jelas adalah bentuk pengerdilan terhadap kemampuan dan usaha mereka dalam dunia sepak bola.
Ingat, ini adalah sepak bola, bukan kontes ratu kecantikan!
Pada akhirnya, harus diakui secara jujur bahwa apa yang kita lakukan ternyata justru berlawanan dengan semangat Kartini dan menghambat majunya sepak bola perempuan Indonesia.
Jadi, sudah sepatutnya kita memandang perempuan dalam sepak bola secara setara.
Baik itu menjadi pemain, ofisial pertandingan, pengurus PSSI, atau apapun, mereka sejatinya hadir untuk berkontribusi bagi pesepakbolaan Tanah Air.