Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Nyatanya, itulah yang terjadi dan sejak itu, kendati tetap menerima sejumlah cobaan, Timnas Jerman tetap bangga dengan keragaman yang mereka miliki.
Sebetulnya, bukan cuma Prancis dan Jerman yang bisa mengubah keberagaman menjadi kekuatan besar.
Lihat juga tim seperti Swiss, yang menjadi lebih tangguh dengan keberadaan pemain seperti Xerdan Shaqiri (keturunan Kosovo
Albania), Granit Xhaka (muslim keturunan Kosovo-Albania), Johan Djorou (Pantai Gading), Ricardo Rodriguez (Spanyol-Cile), dan banyak pemain keturunan lainnya.
Begitu pun Belgia, yang kini menjadi kuda hitam berkat generasi emas semacam Vincent Kompany (setengah Kongo), Yannick Carrasco (Portugal-Spanyol), Mousa Dembele (keturunan Mali dari sang ayah), Romelu Lukaku (Kongo).
Warna pelangi di Belgia bisa bertambah seandainya Radja Nainggolan yang punya darah Indonesia tersebut dibawa ke Rusia.
Bahkan, percayakah Pembaca bahwa keragaman, atau mungkin keberhasilan merangkul keberagaman, merupakan salah satu elemen untuk meraih sukses?
Lihat saja komposisi tim semifinalis di Piala Eropa 2016.
Sepasang tim yang takluk di babak 4 besar, yakni Jerman dan Wales, masing-masing memiliki 10 pemain yang punya garis keturunan dari negara berbeda.
Prancis, yang harus kalah di partai puncak, merupakan tim dengan pemain keturunan terbanyak di turnamen tersebut (15 orang).
Adapun sang juara Portugal diperkuat 12 pemain keturunan, termasuk Eder, sang pencetak gol tunggal di partai puncak yang lahir di Bissau, Republik Guinea-Bissau.
(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskwa)
Bagaimana dengan Rusia 2018? Akankah pelangi kembali merekah di ujung turnamen? Kita lihat saja nanti.
Tapi setidaknya, bila Prancis, Jerman, Swiss, Belgia, hingga Portugal sudah memetik manfaat dari keberagaman, lantas mengapa kita - warga Indonesia - terpecah semata karena politik praktis pemilihan presiden hingga - konyolnya - jalan tol?