Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Spanyol (69%), Jerman (65,3%), Argentina (61,1%), dan Arab Saudi (57%), sudah pulang duluan.
Ada yang kelewat. Ronaldo dan Messi juga kompak gagal bikin gol lewat spot penalti. Sejauh ini, Neymar lebih sering dituding akting berguling-guling, jempalitan di lapangan ketimbang bikin gol (2).
Di balik segala anomali tersebut, semua pasti ada musababnya.
Vonis Jerman terpuruk karena kombinasi pemilihan materi, taktik, minim pemimpin dan build-up buruk sebelum turnamen, hingga isu politis serta arogansi mental juara bertahan.
Argentina kolaps akibat faktor materi tak seimbang, kenaifan pelatih, dan bobroknya internal federasi.
Spanyol terdepak lantaran kekacauan di pos pelatih, kondisi fisik, dan ada di masa peralihan pilar senior ke pemain muda.
Portugal? Ah, paling kaitannya dengan efek Ronaldo lagi.
Toh, sampai perempat final, Piala Dunia 2018 masih menyisakan Prancis, Brasil, dan Inggris sebagai pilihan mainstream calon kampiun, biar turnamen tak terlalu ganjil.
Buat para penggemar arus utama, bertahannya Harry Kane atau Romelu Lukaku yang stabil mempertahankan performa di daftar pencetak gol masih membuat lega.
Namun, untuk para pendukung yang netral, kelahiran juara baru antara Belgia, Rusia, Kroasia, atau Swedia amat dinantikan. Pun Uruguay, pelakon lawas yang terakhir kali juara dunia pada 1950.
(Baca juga: Makan Tumbal Tim-tim Raksasa, Perjalanan Swedia di Piala Dunia 2018 Bukan Dongeng)
Siapa tahu di semesta Rusia 2018 ini tim yang terburuk malah menjadi peserta terkuat di akhir turnamen? Bukan negara terfavorit yang bakal menjadi tim terbaik seperti biasa terjadi pada umumnya.
Kalau soal ini, saya jadi ingat ada klenik perihal siklus 20 tahunan di Piala Dunia.
Ditelusuri bahwa sejak 1958, tim tuan rumah selalu tampil hebat minimal sampai final.
Secara beruntun, mereka adalah Swedia (finalis 1958), Argentina (juara 1978), dan Prancis (juara 1998).
Nah, sekarang Piala Dunia 2018 digelar di Rusia, dan Anda tahu kan maksud saya?