Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa disadari, Piala Dunia akan mencapai puncaknya akhir pekan ini.
Privyet pembaca,
Pesta sepak bola selama kurang lebih satu bulan ini menemui konklusi dengan mempertemukan Prancis dan Kroasia di partai puncak.
Bagi kami, enam orang yang tergabung dalam tim peliput Kompas Gramedia, laga final Piala Dunia di Stadion Luzhniki pada 15 Juli 2018 merupakan puncak dari perjalanan 37 hari kami di tanah Rusia.
Segala suka dan duka berpetualang di negeri orang telah kami lewati, mulai dari kesulitan berkomunikasi, ketinggalan barang di taksi, hampir telat pesawat, sampai dipalak oleh warga lokal.
Satu per satu masalah kami troubleshoot alias pecahkan demi tetap memberikan informasi terbaik, terakurat, dan teraktual mungkin kepada para pembaca.
Sebentar lagi, tim akan kembali ke Indonesia dan bercengkrama lagi bersama keluarga, teman-teman, dan sanak saudara.
Tentu, hal serupa juga akan dialami Moskow dan kota-kota penyelenggara lain. Kenormalan bakal kembali.
(Baca juga: Tottenham Hotspur, Penguasa Sesungguhnya Semifinal Piala Dunia 2018)
Para penduduk akan menjalani rutinitas kehidupan mereka.
Atmosfer Piala Dunia yang ramai karena para suporter asing pun lambat laun sirna.
Ya, para fan adalah hiburan yang tak kalah menariknya setelah aksi dalam lapangan demi memperebutkan trofi simbol superioritas di antara negara-negara dunia.
Tanpa mereka, Piala Dunia akan hambar dan tak bernyawa.
Salah satu suporter yang sempat menonton ke Rusia adalah teman saya, Bintang Febriyan.
Ia datang ke Piala Dunia sekitar 10 hari selama fase grup yang ditutup dengan menyaksikan laga Inggris kontra Belgia pada 28 Juni.
(Baca juga: Harry Maguire, Pahlawan Timnas Inggris yang Berpeluang Menjadi Seorang Akuntan)
Febri pulang dengan kenangan indah dari Moskow, Saint Petersburg, dan Kaliningrad di mana ia berkumpul, bernyanyi, dan bersenda gurau dengan fans-fans Amerika Selatan dan warga lokal.
Sekitar dua minggu berlalu semenjak Febri balik ke Tanah Air.
Pada Rabu (11/7), ia japri setelah saya mengunggah video di Instagram bagaimana sepinya Lapangan Merah Moskow kini.
Memang masih banyak orang berlalu lalang dan mengunjungi obyek-obyek wisata di daerah sekitar Lapangan Merah serta Kremlin.
Namun, tak ada lagi dansa di jalanan, tarian ceria, nyanyian semarak dari para suporter Peru, Argentina, Meksiko, Brasil, dan Kolombia seperti di awal-awal Piala Dunia.
Pecah suporternya Kolombia #ENGCOL #WorldCup pic.twitter.com/IoxHuHk8C1
— Firzie A. Idris (@firzieidris) July 3, 2018
Keramaian mereka berhasil membuat warga Moskow dan kota-kota penyelenggara lainnya larut dalam kegembiraan dan tawa riang.
Beberapa orang Indonesia yang telah lama tinggal di Moskow juga mengatakan bahwa Piala Dunia telah mengubah mentalitas warga Rusia.
Mereka yang kaku dan dingin (sedikit banyak karena pengaruh cuaca) berubah menjadi hangat dan sangat terbuka kepada para pendatang.
Tanpa suporter dari negara-negara tadi, nuansa Piala Dunia sudah tidak relevan lagi, apalagi para semifinalis dan finalis tak terkenal dengan kegilaan suporter mereka.
Bagi saya (dan juga Febri) atmosfer Piala Dunia sesungguhnya terjadi ketika fase grup bergulir. Memang, suporter Inggris berusaha menggairahkan suasana lagi seiring dengan majunya Three Lions.
Sahut2an fans Brasil dan Argentina di sebuah kafe di area Red Square. Fan Fest Moskow tutup karena ada badai jadinya pada nyari tempat lain. Red Square dan Kremlin jadi tempat alternatif populer #Worldcup
Video by @febrinand pic.twitter.com/7BEpTXyKKz
— Firzie A. Idris (@firzieidris) June 30, 2018
Fair play kepada mereka karena suasana menjadi sedikit lebih baik hingga babak semifinal setidaknya.
Namun, nyanyian-nyanyian mereka yang mayoritas berkaitan dengan Football’s Coming Home masih jauh dari menyamai apa yang para fans Amerika Latin bawa.
Pun, para fans yang sering membanggakan diri sebagai terbaik di dunia ini akhirnya harus terdepak setelah gagal melewati hadangan Kroasia di Stadion Luzhniki.
Kurang dari seminggu lagi, giliran kami yang akan pergi mengepak koper dari Moskow.
Setiap-setiap dari kami akan membawa kenangan, baik manis mau pun pahit kembali ke Tanah Air.
Bukan karena kalah bertanding, tetapi karena kami telah menuntaskan tugas negara dan (semoga) telah memberikan yang terbaik bagi para pembaca selama satu bulan lebih terakhir.
Akan tetapi, secungkil kenangan dari tanah Rusia akan selalu tertanam di hati kami, mungkin hingga akhir hayat.