Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Atlet Jepang tengah menjadi sorotan setelah keterlibatan empat anggota tim basket putra Jepang yang terbukti menyewa Pekerja Seks Komersial (PSK) saat mengikuti Asian Games 2018 di Jakarta.
Keempat atlet Jepang tersebut adalah Takuya Hasimoto, Keita Imamura, Yuya Nagayoshi, dan Takuma Sato.
Akibat perbuatan tersebut, keempat pebasket ini dipaksa meninggalkan Jakarta untuk kembali ke Jepang sehingga tidak bisa mewakili negaranya pada Asian Games 2018.
Selain dipulangkan ke Jepang, mereka dilarang mengikuti pertandingan selama satu tahun.
Seperti dilansir BolaSport.com dari Japantimes, kasus tersebut menutup publisitas buruk olahraga di Jepang. Sebelumnya, Federasi Gulat Jepang tengah disorot karena tuduhan "pelecehan kekuasaan".
Kasus lainnya yang menyeruak ke permukaan adalah taktik berbahaya yang direncanakan sebelumnya oleh anggota tim American Footbal Universitas Nihon, tuduhan penyalahgunaan dana Federasi Amatir Tinju Jepang, hingga dakwaan kekerasan fisik dan pelecehan dalam cabang olahraga senam.
Sebagai kritikus media, Minako Saito yang menulis di kolom Shimbun Tokyo pada 5 September lalu mengungkapkan bahwa kisah-kisah ini seperti sesuatu yang keluar dari buku komik, di mana kebaikan dan kejahatan digambarkan dengan jelas.
Dalam kolom Tokyo Shimbun, 1 September lalu tentang media online, Junichiro Nakagawa mengklaim bahwa TV telah memimpin tuduhan terhadap penjahat dalam skandal ini karena mereka bekerja di olahraga amatir.
(Baca juga: Berstatus Unggulan Pertama pada Indonesia Masters 2018, Ihsan Maulana Ingin Lebih Rileks)
Wartawan TV dianggap dapat menutupi skandal apa pun yang mereka inginkan tanpa mengkhawatirkan dampaknya.
Akibatnya, sangat mudah bagi Presiden Federasi Tinju Amatir Jepang, Akira Yamane, menjadi penjahat karena penampilan dan sikap seperti gangster-nya.
Skandal basket ini dianggap tidak berbeda meskipun fokus pada seks membuatnya lebih bermasalah untuk media mainstream.
Bagi tabloid di Jepang, pemberitaan kasus sewa PSK pebasket Jepang justru memberi keuntungan. Tabloid ini menyoroti kesalahan para pebasket dalam bersikap sehingga menimbulkan kasus semacam itu.
Liputan mingguan Shincho menggambarkan konferensi pers dengan empat atlet yang dipermalukan setelah mereka kembali dari Jakarta sebagai "eksekusi publik".
"Mereka diperlakukan seperti penjahat terburuk," kata Philip Brasor yang menyoroti kasus ini dalam kolomnya di Japantimes.
Menurut mingguan Shincho, skandal itu adalah pertemuan tiga faktor yakni terlalu banyak mengonsumsi bir setelah kemenangan awal di turnamen, peraturan tim yang mewajibkan para pemain untuk mengenakan seragam ketika ada di depan umum, dan kenaifan para pemain.
(Baca juga: Greysia Polii Donasikan Jersey Miliknya untuk Korban Angin Topan dan Gempa Bumi di Jepang)
Ketika mereka meninggalkan bar setelah tengah malam, para pemain didekati oleh PSK dan mengikuti mereka ke sebuah hotel.
Seorang fotografer Asahi Shimbun yang berada tak jauh dari lokasi bar melihat proses penawaran antara PSK dan keempat pebasket itu, bahkan mengambil gambar langsung dari kegiatan tersebut.
Shincho memperkuat posisinya dengan kutipan dari sumber yang menganggap skandal itu tidak terkait dengan olahraga.
Seorang reporter Jepang yang tinggal di Jakarta menjelaskan bagaimana lingkungan tempat para pemain yang tengah minum menjadi lebih baik untuk prostitusi dalam beberapa tahun terakhir.
Editor sebuah majalah tentang perdagangan seks Asia membandingkan kegiatan PSK di Indonesia dengan negara lain. PSK Indonesia dianggap lebih sopan daripada orang Thailand atau Filipina.
Shincho mempertanyakan keputusan Asahi Shimbun yang melaporkan pertemuan para pemain yang terjadi pada larut malam.
Laporan Asahi Shimbun dianggap dibuat berdasarkan rasa profesionalisme jurnalistik yang angkuh. Laporan tersebut tidak hanya menghancurkan kehidupan para pemain ini, tetapi juga memfokuskan perhatian ke salah satu daerah di Jakarta.
Shincho tidak sendirian. Twitter dan media sosial lainnya dipenuhi dengan keluhan tentang Asahi Shimbun. Beberapa orang dituduh dengan sengaja menghancurkan peluang bola basket Jepang pada Asian Games meskipun sebagian besar kritik ini membenci organisasi media sejak awal.
Reporter Yuko Shimazawa dalam artikel 22 Agustus di Business Insider Japan, mempertanyakan tindakan pebasket ini karena mereka dianggap mengetahui kampanye mencegah perdagangan manusia dalam event olahraga internasional. Tetapi, tetap melakukannya.
Pemain dan Asosiasi Bulu Tangkis Jepang (JBA) telah meminta maaf kepada kelompok parlemen yang dibentuk selama mereka menghadapi hukuman dari Federasi Bola Basket Internasional (FIBA).
Jepang diskors pada 2014 setelah FIBA menuntut perubahan pada pemerintahan mereka, termasuk menggabungkan dua liga mereka.
The Parliamentary Diet dibentuk pada Desember 2015 untuk mempromosikan kebangkitan bola basket Jepang.