Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
BOLASPORT.COM - Pebulu tangkis tunggal putra Jepang, Kento Momota, memiliki momen tak terlupakan saat Jepang mengalami gempa besar pada 11 Maret 2011.
Saat itu, Kento Momota masih mengenyam pendidikan sekolah menengah dan sedang berada di Indonesia. Momota sendirian di Indonesia. Dia tidak bisa membantu rekan satu timnya dan merasa tidak berdaya.
Sepuluh tahun berlalu, Kento Momota masih mengingat gempa besar Jepang Timur.
Baca Juga: All England 2021 Jadi Ujian Pikiran dan Hati bagi Penerus Lee Chong Wei
"Menjelang akhir tahun pertama saya di sekolah menengah, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti training camp di Indonesia, sendirian," kata Momota dalam wawancara peringatan 10 tahun gempa yang menghancurkan garis pantai timur Jepang.
"Saat kami berlatih sekitar tengah hari, salah satu orang di sana, terlihat sangat mengerikan. Dia memanggil saya untuk menonton TV. Saat itulah saya mengetahuinya," ucap Momota dilansir BolaSport.com dari Olympicchannel.
"Mereka menunjukkan bandara Sendai dan sepertinya bandara itu telah hilang tersapu gempa. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada awalnya, tetapi saya dapat mengetahui kata-kata tertentu seperti lokasinya dan mengetahui bahwa telah terjadi gempa dan kemudian tsunami."
Pria berusia 26 tahun itu mengungkapkan bahwa salah satu penduduk setempat berbicara sedikit bahasa Jepang.
"Dia menyuruh saya menelepon rekan satu tim saya di Jepang dengan tergesa-gesa, tetapi saluran telepon benar-benar rusak. Saya tidak dapat menghubungi siapa pun sampai malam," aku Momota.
"Saya sangat khawatir dengan tim saya. Ketika pembangkit nuklir meledak, saya pikir akhir itu mungkin akan datang. Punggung saya terasa menggigil," ujar Momota.
Baca Juga: Valentino Rossi dkk Akan Divaksin Covid-19 Jelang MotoGP Qatar 2021
Tunggal putra nomor satu dunia ini adalah penduduk asli Prefektur Kagawa. Namun, dia menghabiskan enam tahun sekolah menengah pertama dan menengahnya di Tomioka, Prefektur Fukushima.
Tomioka berada di pantai Pasifik dan berjarak kurang dari 15 kilometer dari pembangkit listrik tenaga nuklir yang meleleh akibat gempa dan tsunami berikutnya yang mencapai ketinggian 16 meter.
Hampir 16.000 nyawa meninggal, 90 persen karena tenggelam, dan lebih dari 2.500 masih hilang.
Momota menemukan cara untuk kembali ke Jepang sehari setelahnya. Tetapi, baru lima tahun kemudian yakni pada 2016 dia dapat mengunjungi kembali kampung halaman angkatnya di Fukushima.
"Itu melebihi apa yang bisa kubayangkan", kata Momota tentang hari dia kembali ke SMA Tomioka, yang terpaksa pindah ke kota lain di prefektur.
"Rak-raknya telah runtuh, semuanya telah hancur berkeping-keping. Meja saya, kursi saya, semuanya. Melihat semuanya begitu mengejutkan," tutur Momota.
"Tempat saya berlatih begitu rusak. Lampu telah jatuh, kaca pecah di mana-mana. Saya tidak bisa berkata-kata - dan sedih. Sedih yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saya berada di Fukushima selama enam tahun sejak SMP."
"Ini adalah rumah kedua saya. Karier bulu tangkis saya dimulai di Fukushima. Ini adalah tempat yang menjadikan saya seperti saya hari ini," ujar Momota.
Baca Juga: Evander Holyfield dan Mike Tyson Tebar Kode Bakal Bentrok