Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
BOLASPORT.COM - Tim Gabungan Aremania (TGA) menyatakan tuntutan pada pihak Kejaksaan dan Kepolisian terkait pelaksanaan autopsi korban Tragedi Kanjuruhan yang belum dilaksanakan sampai saat ini.
Tuntutan yang berkaitan dengan autopsi korban Tragedi Kanjuruhan itu terlepas dari proses hukum kasus tersebut yang sudah dilimpahkan ke kejaksaan tanpa adanya ekhumasi atau autopsi.
Karenanya TGA dengan tegas meminta pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejari Jatim) agar segera memberikan petunjuk (P19).
TGA meminta Kejati Jatim untuk mengembalikan berkas perkara 6 tersangka Tragedi Kanjuruhan kepada penyidik Polri untuk melengkapi dengan melaksanakan proses ekshumasi - otopsi kepada para korban meninggal dunia supaya dapat ditemukan penyebab pasti kematian para korban.
Tim Hukum TGA, Anjar Nawan Yusky SH melalui rilis menyatakan TGA meminta dan mendesak Kejati Jatim untuk berikan petunjuk (P19) kepada penyidik Polri bukan hanya untuk melaksanakan proses ekshumasi - otopsi tapi juga melakukan proses pemeriksaan luka – visum et repertum kepada para korban yang mengalami luka–luka.
Visum et repertum kepada para korban yang mengalami luka-luka supaya dapat ditemukan penyebab pasti luka yang diderita oleh para korban tersebut.
"Hal tersebut kami mintakan kepada pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dikarenakan sejak awal kami telah mendorong dan meminta secara terbuka kepada pihak Polri dalam hal ini Polda Jatim, namun sampai saat ini belum juga dilaksanakan dengan alasan pihak keluarga korban yang meninggal dunia tidak memberikan ijin," ujar Anjar Nawan Yusky dalam rilisnya, Jumat (28/10/2022) dilansir BolaSport.com dari Surya Malang.
Padahal apabila mengacu ketentuan dalam pasal 134 KUHAP dan 135 KUHAP yang pada pokoknya mengatur bahwa pemeriksaan bedah mayat/otopsi dilaksanakan oleh penyidik untuk kepentingan pembuktian peradilan.
Dari ketentuan pasal 134 dan 135 KUHAP mestinya dapat difahami bahwa ijin/persetujuan dari keluarga korban bukanlah suatu keharusan.
Justru apabila keluarga korban merasa keberatan sudah menjadi kewajiban penyidik untuk menerangkan secara jelas maksud dan tujuan dilakukannya proses otopsi.
"Menilik beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia ternyata pihak Kepolisian dapat langsung melakukan proses otopsi tanpa persetujuan dari pihak keluarga dan dalam banyak pemberitaan di berbagai media pihak Kepolisian selalu konsisten menyatakan bahwa persetujuan keluarga dalam melakukan proses otopsi bukanlah suatu keharusan atau syarat untuk dapat dilaksanakannya otopsi," ujar Anjarnawan Yusky.
Baca Juga: Febri Hariyadi Tak Temui Kendala Berlatih Daring Bersama Skuad Persib
"Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa dalam proses hukum tragedi Kanjuruhan ini tidak diperlakukan demikian?" bebernya.
Ia lalu menyinggung contoh kasus kematian 6 orang anggota FPI dan kasus pembunuhan brigadir Joshua Hutabarat.
Dikatakan, tuntutan pada Kejati untuk mengarahkan polisi melengkapi hasil autopsi dan pemeriksaan luka korban secara prisip sesuai dengan rekomendasi dari TGIPF yang dipimpin langsung oleh Menkopolhukam yang meminta dilakukan autopsi.
"Pada bab V bagian rekomendasi bagi POLRI huruf H berbunyi 'melakukan otopsi terhadap pasien yang meninggal dengan ciri-ciri yang diduga disebabkan oleh gas air mata, guna memastikan faktor-faktor penyebab kematian", ujar Anjarnawan Yusky.
"Oleh karena itu sudah semestinya Polri dan Kejaksaan RI menghormati dan mematuhi rekomendasi yang telah disampaikan oleh TGIPF yang dibentuk langsung oleh Presiden RI," lanjutnya.
Baca Juga: Peringatan dari PSM Makassar, KLB PSSI Tak Boleh Dipaksakan
Sebagai informasi, saat ini setidaknya sudah ada dua keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang bersedia memberikan izin autopsi.
Salah satu korban yang mengajukan autopsi yakni Devi Athok Yulfitri, warga Bululawang Malang.
Satu lagi keluarga korban yang bersedia yang membuka diri untuk dilakukan autopsi adalah keluarga dari Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris yang kini ditahan sebagai tersangka.
Khusus untuk Devi Athok, ia kembali mengajukan autopsi setelah sempat mencabut kesediaan pada 17 Oktober 2022.
Devi Athok membuat surat pernyataan meminta autopsi jenazah dua putrinya, Natasya Debi Ramadhani (16), dan Nayla Debi Anggraeni (13).
Dalam isi surat tulisan tangan yang dibuat tanggal 22 Oktober 2022 ia meminta jenasah 2 putrinya, Aremanita remaja yang tewas dalam Tragedi Kanjuruhan untuk diautopsi.
Surat itu dikirimkan kepada Kapolri.