Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
BOLASPORT.COM - Sektor ganda putri Indonesia sedang mencari pasangan lain yang dapat menemani Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Ramadhanti untuk memperebutkan tiket Olimpiade Paris 2024.
Berdasarkan regulasi Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF), suatu negara bisa mengirim maksimal dua wakil sektor ganda jika ada wakilnya yang bisa menembus peringkat delapan besar dunia.
Saat ini, Apriyani/Fadia menjadi satu-satunya ganda putri Merah Putih yang menembus 10 besar dunia, sementara penghitungan poin kualifikasi Olimpiade Paris 2024 akan dimulai pada Mei 2023.
Selain, Apriyani/Fadia di sektor utama ada Febriana Dwi Pujikusuma/Amalia Cahya Pertiwi, Ribka Sugiarto/Lanny Tria Mayasari, dan Rachel Allessya Rose/Meilysa Trias Puspitasari yang baru naik dari level junior.
Namun, diantara tiga pasang ini belum ada yang meraih gelar dalam kalender BWF World Tour.
"Kami komunikasi lebih intensif setelah Ana/Tiwi, Lanny/Ribka. Kendalanya hampir semua sama. Penampilan mereka saa latihan kemampuannnya sudah cukup bagus, tetapi kenapa saat pertandingan tidak keluar?" kata pelatih ganda putri Indonesia, Eng Hian, ditemui BolaSport.com di pelatnas Cipayung, Jakarta Timur.
Baca Juga: Cedera Pulih, Pelatih Ungkap Alasan Marcus/Kevin Bisa Turun ke Turnamen Super 300
"Kemampuan yang ada di latihan tidak keluar. Itu yang sering menjadi kendala. Rata-rata dari semuanya (epamain) begitu. Kami tanyakan alasannnya karena takut kalah. Dari diri sendiri. Kalau yang progress-nya bagus memang Ribka/Lanny untuk 2022," ucap Eng Hian
"Ana/Tiwi masih stagnan. Kalau mereka tidak mengubah apa yang menjadi kendala mereka, sangat besar, sangat mungkin tersusul yang lain karena kami berikan turnamen yang banyak."
"Kalau tidak bisa memperbaiki apa yang menjadi kekurangan mereka. Mungkin malah bisa tersusul dengan Rachel/Trias. Makanya mereka saya tarik ke atas karena mereka yang terbaik di junior. Sudah tidak bisa main lagi di event junior."
Pelatih yang akrab disapa dengan Didi itu mengakui bahwa dia ingin pelapis Apriyani/Fadia bisa muncul secepat mungkin.
"Saya dan tim pelatih melihat anak-anak ini sudah bisa bersaing di level elite. Cuma kembali lagi saat bertanding seperti orang yang tidak percaya diri. Bisa tidak ya saya mengalahkan mereka, kok ini kuat ya, kok ini cepat ya. Jadi mereka memandangnya dengan positif," tutur Eng Hian.
"Jika dilihat dari kemampuan latihan, seharusnya mereka sudah bisa bersaing dengan pemain top minimal 20 besar. Seperti Ribka/Lanny. Rachel/Trias, Ana/Tiwi. Saya selalu optimis dengan apa yang pemain saya lakukan. Saya juga yakin mereka disini tidak sebatas melakukan kewajiban."
"Mereka sudah menyadari kalau ini profesi mereka. Jadi saya selalu optimis kalau mereka selalu all out. Ada anak yang progress-nya cepat, memang butuh waktu lebih lama. Kami harapkan saat Olympic race, mereka sudah bisa menempel Apri/Fadia," aku Eng Hian.
Dengan begitu, peraih medali perunggu Olimpiade Athena 2004 bersama Flandy Limpele itu berharap ada persaingan ketat bagi sektor ganda putri di pelatnas.
"Lawan dari luar juga melihat melawan ganda putri Indonesia itu tidak mudah. Namun, kapasitas pemain ganda putri, kapasitas kemampuan skill individunya itu tidak merata. Kalau kita bicara kebutuhan di level atas, itu kebutuhannya apa saja sih."
"Pemain kita itu tidak merata kemampuannya. Karena itu, saya sering dibilang gonta-ganti pasangan. Saya sebagai pelatih di pelatnas harus mencari pasangan-pasangan yang cocok dan bagus yang bisa bersaing di level atas," ujar Eng Hian.
"Saya ingin mendapatkan suplai pemain dari bawah atau klub pola pelatihannya seusai dengan kebutuhan dengan ganda putri di level dunia."
Namun, menurut Eng Hian, pola permainan yang ada di level nasional, seperti sirnas (sirkuit nasional) itu berbeda jauh dengan kebutuhan di tingkat elite.
"Ada faktor kondisi lapangan. Di level nasional, selalu shuttlecock-nya kencang karena lapangan berangin, sedangkan di level elite, tidak ada yang bermain 4-5 pukulan selesai (menghasilkan poin). Saat masuk pelatnas, saya harus mengubah. Itu butuh waktu," tutur pria berusia 45 tahun itu.
"Kalau program dari klub, sehari-hari dan di event-event nasional, sudah seperti itu mungkin tidak akan sesulit mencari permainan yang memenuhi kapasitas dunia. Berbeda dengan ganda putra, dari kecil memang mainnya sudah seperti itu."
"Sangat sesuai, jadi saat masuk pelatnas tidak banyak berubah. Ini yang menjadi permasalahan dan yang sudah disampaikan ke pengurus agar program latihan di klub itu disetarakan. Begitu juga di tunggal putri," aku Eng Hian.
"Kebutuhan untuk bersaing di level internasional itu tidak dapat. Tunggal putri juga butuh reli panjang. Di tingkat nasional, karena shuttlecock-nya kencang, lapangan berangin, yang ada lima pukulan sudah selesai," ucap Eng Hian.
Baca Juga: Teka-teki Siapa Partner Baru Indah Cahya Sari Jamil Akan Segera Diumumkan PBSI
Tetapi, Eng Hian tidak menyalahkan klub karena program di klub dibuat sesuai kebutuhan klub bersangkutan.
Dengan kondisi yang ada, Eng Hian mengikutsertakan pasangan ganda putri utama ke banyak turnamen.
"Tinggal bagaimana mereka memanfaatkan, terus belajar apa yang menjadi kekurangan mereka dan yang pasti mereka harus kerja keras lagi untuk mengejar apa yang menjadi kekurangan mereka," kata Eng Hian.
"Ganda putri terkendala fisik karena sektor ini di Indonesia sempat tidak populer. Kebutuhannya harus ada daya tahan, polanya seperti apa.Harus ada fisik yang kuat, stamina yang kuat. Kebutuhannya agak berbeda dengan sektor ganda putra."
"Mungkin pelatih yang dulu (saya merasa tidak baik) tidak terlalu detail. Program diberikan sesuai sektor ganda putra karena pelatihnya mantan pemain ganda putra. Tetapi, setelah ada Nitya/Greysia juara Asian Games, orang mulai ada perhatian pola ganda putri harus begini."
Eng Hian menyebut dahulu sektor ganda putri nyaris tidak ada yang menonton karena didominasi oleh China.
Tetapi, setelah Nitya/Greysia meraih medali emas Asian Games 2010 sektor ini sudah mulai mendapat perhatian.
"Power, skill, dan pola pikir putra dan putri berbeda. Stok yang ada saat ini belum yang terbaik, di nasional terbaik, tetapi belum di level dunia. Contohnya pada ganda campuran, setelah Butet (Liliyana Natsir) pensiun belum ada yang setara kemampuanya," kata Eng Hian.
"Jadi bagaimana menciptakan Butet dan Apriyani yang lain. Greysia sudah lama ditempa dan baru matang pada usia 27-28 tahun. Kami dituntut cepat matang. Putra bisa, tetapi putri tidak."
Terdekat, Apriyani/Fadia akan mengikuti All England Open 2023 pada 14-19 Maret.
Baca Juga: Rinov/Pitha Mengaku Sudah Perbaiki Aspek Komunikasi Jelang All England Open 2023