Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Namun, hal itu tidak pernah menghalanginya untuk menemukan versi terbaik dirinya dan menang lagi, hingga 2019, di mana mentalitasnya berubah total.
"Bagi kami, melaju 300 km/jam adalah sesuatu yang wajar, kami mempelajarinya sejak kecil. Namun, seiring waktu Anda mengetahui bahwa hal itu bisa berbahaya," tutur pria 36 tahun itu.
"Saya mengalami patah tulang selangka kiri sebanyak 7-8 kali. Waktu menunjukkan kepada Anda bahwa itu adalah sesuatu yang dapat merugikan Anda, jadi tidak mungkin untuk tidak menghormatinya."
"Sayangnya saya telah melihat pembalap meninggal di atas motornya, itu adalah sesuatu yang bisa terjadi. Saya sudah tiga kali ketakutan sekali naik motor, pertama kali pada 2008, saat saya melakukan penerbangan sejauh 3-4 meter dan kedua pergelangan kaki saya patah."
"Selanjutnya, pada kecelakaan lainnya, kepala saya terbentur begitu keras hingga saya jatuh pingsan, dan setelah tiga atau empat hari saya masih tidak ingat bagaimana kejadiannya," aku Lorenzo.
"Di Belanda pada 2019, dua tulang belakang saya patah, dan itu benar-benar mengubah mentalitas saya. Dalam sedetik saya berubah dari ingin menjadi juara dunia lagi, menjadi ingin menikmati hidup," ucap Lorenzo.
Selama berkarier sebagai pembalap MotoGP, Lorenzo mengaku sangat menikmati saat mengendarai motor Yamaha.
"Saat saya mencoba motor itu pada 2008, saya tahu itu cocok untuk saya, ” kata Jorge tentang sensasi pertamanya bersama Yamaha.
"Motor itu sempurna, sangat jinak dan mudah beradaptasi. Pada 2016 ketika saya berganti ke Ducati, saya melihat bahwa motor itu bukan untuk saya, namun setelah banyak kerja keras akhirnya kami berhasil mewujudkannya," katanya.
Selama bertahun-tahun, Jorge Lorenzo telah berbagi grasi dengan Valentino Rossi yang telah memberikan beberapa tahun terbaiknya untuk merek pabrikan asal Jepang tersebut.