"Menang atau mati!", demikian isi pesan singkat lewat telegram yang dikirim diktator Italia, Benito Mussolini kepada Timnas Italia di final Piala Dunia 1938.
Timnas Italia yang gagal lolos ke Piala Dunia 2018 mungkin sedikit bernasib lebih baik dibandingkan para seniornya di masa Perang Dunia kedua.
Fasisme dan Calcio
Hiruk pikuk perang dunia menjadikan sepak bola sebagai alat berpolitik untuk memanipulasi publik agar makin cinta dengan partai penguasa.
Kala itu, Benito Mussolini menjadi tokoh fasis yang punya kuasa mengontrol semua lini kehidupan masyarakat Italia.
Sepak bola yang menjadi olahraga populer pun tak luput dari perhatian Mussolini.
Membawa misi untuk mempromosikan persatuan nasional, Timnas Italia pertamakali dibentuk pada 1929.
Dari situlah muncul istilah Calcio atau Italian Football, merombak dari dasar-dasar sepak bola yang lebih dulu dikembangkan Inggris.
Alih-alih memasukkan pemain asli Italia, penguasa partai fasis yang bersembunyi di balik institusi sepak bola Italia lebih memilih jalur naturalisasi.
Tiga pesepak bola kelahiran Argentina menjadi oriundi yang sukses menjadi bahan pembicaraan publik Italia jelang Piala Dunia 1934.
Mereka adalah Raimundo Orsi, Luis Monti, dan Enrique Guaita, tiga oriundi yang dinaturalisasi untuk masuk ke Timnas Italia.
Orang-orang oriundi -bukan orang Italia, namun masih keturunan atau memiliki darah Italia dan berhak menjadi warga negara Italia- berbondong-bondong terpancing untuk menjadi warga negara Italia.
Harus diakui, kekuatan fasis pimpinan Benito Mussolini memang menjadi satu kekuatan tak terbendung bagi Italia.
Saat-saat yang ditunggu Mussolini tiba, Italia menjadi tuan rumah Piala Dunia 1934 secara aklamasi.
Il Duce -gelar Mussolini- punya kuasa penuh menunjukkan kedigdayaan bangsanya lewat pesta sepak bola yang digelar di rumahnya sendiri.
Kemenangan Timnas Italia dalam setiap laga memang tidak langsung jatuh dari tangan Mussolini.
Tetapi, penyelenggara kompetisi memiliki kuasa untuk mengontrol keuntungan bagi Timnas Italia dengan cara yang tak kasat mata.
Mendekati wasit hingga korupsi yang tertutup rapi berjalan mulus didalangi Mussolini.
Pada pertandingan pertama, Italia menang 7-1 atas Amerika Serikat, skor yang mengejutkan di dunia sepak bola saat itu.
Di perempat final, Spanyol sebagai tim unggulan pun harus tunduk dari Italia berkat bantuan Rene Mercet, wasit yang mempimpin laga.
Italia tak mengalami kesulitan berarti di partai semifinal setelah menundukkan Austria dengan skor 1-0.
Pada malam sebelumnya, Mussolini sudah lebih dulu mengajak wasit asal Swedia, Ivan Eklind makan malam sembari mendiskusikan "strategi" di laga Italia kontra Austria esok hari.
Dinilai memiliki performa apik, Ivan Eklind pun didaulat menjadi pengadil di laga final Italia vs Ceko.
Ceko sempat unggul 1-0 lebih dulu lewat gol Antonio Puc, tetapi Raimundo Orsi -salah satu pemain oriundi- berhasil menyamakan kedudukan.
Babak perpanjangan digelar, Italia berhasil membalikkan keadaan menjadi 2-1 bagi keunggulan Italia.
Italia pun menjadi negara kedua yang memenangi Piala Dunia setelah Uruguay di tahun 1930.
Partai Hidup dan Mati
Pada Piala Dunia 1938 yang digelar di Prancis, Mussolini praktis tak dapat berperan di balik layar penyelenggara.
Tetapi, bukan Mussolini namanya kalau kehabisan akal.
Lewat Piala Dunia, Mussolini ingin mencuri perhatian dunia yang saat itu tengah tertuju pada tokoh Nazi di Jerman, Adolf Hitler.
Tak bisa menyentuh langsung jajaran penyelenggara Piala Dunia di Prancis tersebut, satu-satunya yang bisa dia pengaruhi adalah para pemain itu sendiri.
Saat laga Italia melawan tuan rumah (Prancis), Timnas Italia menggunakan jersey berwarna hitam polos.
Bukan tanpa alasan, hitam adalah warna kebanggaan partai fasis pimpinan Mussolini.
Di partai final, Italia harus berhadapan dengan Hungaria pada laga hidup dan mati.
Ya, hidup dan mati secara harafiah yang berarti mereka dapat kehilangan nyawanya apabila kalah dari Hungaria.
Mussolini mengirimkan telegram berisi pesan singkat berbunyi "Vincere o Morore!" kepada skuat Timnas Italia sebelum berlaga.
Bertahun-tahun di bawah kepemimpinan diktator fasis, pemain Italia menyadari pesan itu bukan sebuah candaan atau kalimat penyemangat.
Italia kembali menjadi juara dengan kemenangan 4-2 atas Hungaria, serta menyebarnya kabar ancaman dari sang diktator tersebut.
Kiper Hungaria, Antal Szabo menjadi populer berkat pernyataannya usai kalah dari Italia.
"Aku mungkin membiarkan empat gol masuk, tapi setidaknya aku menyelamatkan nyawa mereka," ujar Antal.
Berkat campur tangan politik di dalamnya, sepak bola secara efektif menjadi kebanggan Italia di mata dunia Internasional.
Bahkan sepak bola menjadi identitas negara yang identik dengan sepak bola Calcio miliknya.
Musnahnya Mimpi Mengulang Kejayaan Piala Dunia 2016
Italia sempat menjuarai Piala Dunia 2006 usai mengalahkan Prancis di partai final.
Ingin mengulang kesuksesan kala itu, empat pemain Timnas Italia 2006 turut ambil bagian di ajang Kualifikasi Piala Dunia 2018.
Sayangnnya, Gianluigi Buffon, Andrea Barzagli, Daniele De Rossi, dan Giorgio Chiellini tak lagi mengenakkan jersey biru khas Italia di kesempatan yang akan datang.
Mereka mengumumkan untuk pensiun usai gagal membawa Timnas Italia gagal ke Piala Dunia 2018.
Berbanding terbalik dengan kemenangan di Piala Dunia 1934, Timnas Italia harus terseok di rumah sendiri.
Swedia adalah negara yang sukses menumbangkan raksasa Calcio tersebut di ajang kualifikasi Piala Dunia 2018.
Kalah agregat 0-1 dari Swedia, kegagalan ini menjadi yang pertama bagi Italia sejak 60 tahun yang lalu.
Italia pernah gagal melaju ke Piala Dunia 1958 setelah kalah dari Irlandia Utara di fase kualifikasi.
Editor | : | Fabianus Riyan Adhitama |
Sumber | : | outsideoftheboot.com |
Komentar