Mantan bek tim nasional Prancis, Lilian Thuram, menilai bahwa kultur rasialisme di sepak bola Eropa masih kuat. Dia pun meminta FIFA untuk bertindak lebih tegas menyikapi masalah ini.
Lilian Thuram menghabiskan 17 tahun berkarier di sepak bola Eropa, mulai dari AS Monaco, Parma, Juventus, dan terakhir Barcelona.
Dalam wawancara dengan Independent yang dilansir BolaSport.conm, sosok berusia 45 tahun tersebut menilai bahwa situasi di Eropa saat ini tidak menunjukkan perkembangan ketimbang saat dia masih aktif bermain.
"Saya tiba di Italia pada 1996 dan pergi pada 2006, dan saya melihat banyak contoh perilaku rasialis. Saya melihat dan mendengar orang-orang menirukan suara monyet. Dan 21 tahun setelah saya tiba di Italia, ternyata sikap tersebut masih ada," kata Thuram.
Setelah gantung sepatu, Thuram mendedikasikan waktunya untuk kampanye memerangi rasialisme di sepak bola.
(Baca juga : Wow! Ada Sosok Cantik di Unggahan Terbaru Kevin Sanjaya Sukamuljo)
Dia pun meminta FIFA lebih serius menyikapi masalah tersebut dan mengambil tindakan yang bukan sekadar seremonial.
"Orang-orang yang menjadi korban diskriminasi di stadion selalu dari golongan yang itu-itu saja; orang berkulit gelap, pemeluk agama tertentu, atau penyuka sesama jenis," ujarnya.
Bagi Thuram, kalangan mayoritas justru punya peran penting menyosialisasikan kampanye melawan rasialisme dan diskriminasi.
"Yang bisa menghentikan praktek diskriminasi adalah mereka yang tidak terkena dampaknya. Masalahnya, figur sepak bola yang bukan korban diskriminasi cenderung menilai kalau masalah ini tidak ada," tutur Thuram.
Namun, bek yang membela Prancis saat menjadi juara di Piala Dunia 1998 itu menilai persoalan ini ada solusinya.
"Kalau saja pemain sepak bola kulit putih meninggalkan lapangan setiap ada pemain minoritas diejek, orang-orang akan dengan mudah mencari solusinya. Sepak bola adalah bisnis, pasti semua orang ingin mencari solusi tiap ada masalah," katanya melanjutkan.
(Baca Juga: Juergen Klopp Konfirmasi Kabar Transfer Pemain Seharga Rp 868,6 Miliar)
"Hanya saja, kita selalu menganggap bahwa pihak korban adalah satu-satunya yang harus bertindak," ucap Thuram lagi.
Dia pun menyayangkan sikap FIFA yang seperti masih setengah-setengah memberantas rasialisme.
Sebagai contoh, FIFA membubarkan satuan tugas temporer mereka pada September 2017.
"Tindakan FIFA memberi pesan yang salah. Mereka punya daya untuk menghentikan ini, tetapi mereka harus tetap bekerja keras," tutur Thuram.
Editor | : | Dimas Wahyu Indrajaya |
Sumber | : | Independent.co.uk |
Komentar