Kendati ada Bhayangkara FC, yang bermarkas di Stadion Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Persija boleh jadi dianggap sebagai satu-satunya klub ibu kota di kompetisi kasta teratas Indonesia saat ini.
Bhayangkara FC, yang musim lalu membuat kejutan luar biasa dengan menjuarai Liga 1, tak pernah dianggap sebagai tim Jakarta.
Toh para petinggi dan pemain menganggap mereka sebagai tim milik Kepolisian Republik Indonesia yang kebetulan bermarkas di Jakarta.
Fakta bahwa Persija seperti menari sendirian di wilayah luas bernama Jakarta tentu ironis mengingat ibu kota pernah punya tim seperti Persitara Jakarta Utara dan Persijatim Jakarta Timur di level tertinggi.
(Baca Juga: Persija Tak Punya Pesaing di Jakarta? Tak Masalah!)
(Baca Juga: Wawancara Hargianto: Persija adalah Impian Anak Jakarta!)
Kondisi saat ini bahkan lebih miris bila garis sejarah ditarik sedikit lebih panjang. Era Galatama adalah masa di mana persaingan sepak bola di Jakarta sangat sengit.
Pada musim pertamanya saja, tercatat delapan klub ibu kota berlaga di Divisi Utama: Warna Agung yang akhirnya menjadi kampiun edisi perdana, Jayakarta, Indonesia Muda, Arseto (sebelum pindah ke Solo pada 1983), Tunas Inti, Cahaya Kita, Buana Putra, dan BBSA Tama.
Jakarta ketika itu menjelma sebagai ibu kota sepak bola, terutama dengan keberhasilan Warna Agung, Jayakarta, dan Indonesia Muda menempati tiga posisi teratas klasemen akhir Galatama 1979/80.
(Baca Juga: Hari Ini Komdis PSSI Umumkan Sanksi untuk Arema FC)
Adapun Persija berhasil menjuarai kompetisi Perserikatan semusim sebelumnya.
Pada musim 1979/80 itu, ada juga UMS ’80 dan Jakarta Putera yang masih berada di Divisi Satu Galatama.
Jangan lupakan juga klub seperti Bintang Timur, yang memainkan laga kandang di Cirebon kendati aslinya dari Jakarta, atau Tempo Utama, yang melakoni duel kandang di Bandung walau berasal dari ibu kota.
“Dulu memang ada banyak klub di Jakarta, tidak seperti sekarang saat cuma Persija yang tampil di level teratas. Klub-klub itu didirikan oleh sejumlah bos yang memang gila sepak bola,” tutur Warta Kusuma, eks libero timnas yang juga jebolan Warna Agung.
Aroma semiprofesional sebagai alternatif kompetisi amatir dalam wadah Perserikatan memang membuat banyak pihak berlomba-lomba tampil di Galatama.
Luis Milla Dipastikan Batal Datang ke Indonesia, Ini Alasannya https://t.co/KVTiEoffrO
— BolaSport.com (@BolaSportcom) October 9, 2018
(Baca Juga: Timnas Indonesia Krisis Bek Kanan, Cuma Dua Sepanjang 2018)
Sinyo Aliandoe, mantan pelatih timnas Indonesia, bahkan disebut sempat menolak bergabung dengan PSSI Binatama yang akan dikirim ke Brasil karena tak bisa meninggalkan Tunas Inti, klub yang menggajinya, terlalu lama.
“Pada masa itu, Jayakarta bisa dibilang sebagai. Para pemain Jayakarta benar-benar dibayar untuk bermain sepak bola, sementara pemain di klub seperti Indonesia Muda dan Warna Agung merupakan karyawan perusahaan,” kenang Sutan Harhara, defender serba bisa yang pernah membela Jayakarta dan Persija.
Kualitas klub Galatama juga bisa dibilang mumpuni karena diperkuat pemain pilihan.
“Klub-klub Galatama memang merekrut pemain terbaik dari seluruh daerah. Jayakarta sendiri kala itu sudah cukup teruji karena telah beberapa kali menjuarai kompetisi internal Persija,” ucap Sutan.
(Baca Juga: The Jak Mania Tagih Janji Pemprov Soal Stadion Baru, Bos Persija Angkat Bicara)
Hal senada disampaikan Bambang Nurdiansyah.
“Galatama merupakan era semi-profesional, siapa saja bisa bikin klub dan ikut serta. Pemainnya diambil dari Perserikatan, misalnya Arseto yang mengambil pemain Persebaya dan Jayakarta yang diperkuat pemain Persija,” tutur eks striker timnas tersebut.
“Para pemain ini sudah matang di Perserikatan. Padahal, untuk tampil di level Perserikatan saja sudah melewati seleksi. Kami tampil di Galatama karena kompetisi semi-profesional lebih menarik dan tidak melihat alasan untuk tidak pindah dari Perserikatan,” kata Bambang Nurdiansyah.
Editor | : | Andrew Sihombing |
Sumber | : | BolaSport.com, Tabloid Bola |
Komentar