Ngomong-ngomong soal kolam dan ikan ini, ada sebuah model perilaku yang digagas psikolog kondang, Herbert W. Marsh pada 1984. Namanya big fish little pond effect (BFLPE).
Lebih lanjut, penulis sekaligus jurnalis kondang Kanada, Malcolm Gladwell, memaparkan teori itu dalam bukunya, David and Goliath: Underdogs, Misfits, and the Art of Battling Giants.
Intinya, Gladwell menyarankan orang agar memilih menjadi ikan besar dalam kolam kecil, ketimbang ikan kecil di kolam yang besar.
Maksudnya, seseorang akan lebih baik menjadi bagian sebuah organisasi yang kecil, tetapi di mana mereka punya peluang besar untuk bersinar dan menonjol dari yang lain.
Sementara jika menjadi ikan di kolam besar, berarti Anda punya banyak sekali pesaing untuk berbarengan menonjol di area yang sama.
Peluang berprestasi pun semakin terbatas. Anggaplah Barcelona kolam besar penuh prestise bagi Neymar.
Unai Emery comfortable with added pressure Neymar brings to PSG https://t.co/9FHcIjbYU5 pic.twitter.com/HFrwFdFGNH
— Football Gateway (@FootballGw) August 6, 2017
Sebagai "ikan" yang mau berkembang, dia harus bersaing ketat dengan ikan-ikan lain yang sudah tumbuh lebih lama.
Sebut saja ikan-ikan besar itu Lionel Messi atau Luis Suarez.
Demi mengejar status sebagai bintang utama, menjadi realistis kalau Neymar akhirnya memilih kolam yang lain, yakni PSG.
Di sana, striker berusia 25 tahun itu punya kans lebih besar untuk menjadi pemimpin utama karena PSG sedang berupaya memperlebar diri menjadi kolam sebesar Barcelona kelihatannya.
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar