Tidak ada yang rahasia dalam sepak bola. Sebuah pernyataan yang tentunya menimbulkan argumentasi.
Meski susunan pemain bahkan formasi tim termaktub di lembar daftar susunan pemain sebelum pertandingan, tentu kita tak akan mutlak tahu strategi apa yang sebenarnya sudah disiapkan kedua pelatih.
Ketika dua pemain berhadapan, pemain bertahan tidak tahu pasti apa yang akan dilakukan pemain yang dihadapinya.
Dia hanya bisa menebak.
Kita tidak akan pernah tahu apakah Diego Maradona memang berniat memasukkan bola dengan tangan ke gawang atau aksi tersebut memang tereksekusi tanpa kesengajaan.
Yang kita tahu gol tersebut bernilai penting dalam sejarah sepak bola Argentina.
Maestro sekelas Zinedine Zidane pun lepas kendali menanduk Marco Materazzi di partai puncak Piala Dunia dengan alasan yang mungkin akan jadi rahasia sepanjang masa.
Di lapangan sepak bola apa yang direncanakan, diinstruksikan, dan dieksekusi dalam sebuah pertandingan tetaplah sebuah rahasia yang disimpan sang empunya gagasan, baik itu pelatih maupun pemain.
Namun, setidaknya dalam dua hari kegiatan “Football Analytics and Performance Summit” di Amsterdam pada 7-8 September 2017, tidak ada yang rahasia terkait dengan aspek analisis performa sepak bola.
Sekitar 80 peserta mancanegara datang dari berbagai ekspertis baik peneliti, pelatih, dan perangkat tim lain, serta praktisi industri data dan analisa sepak bola.
Para peserta menjadi spesial karena ada adalah pelatih yang melakukan penelitian dari hasil temuannya di lapangan.
Ada pula peneliti yang berhasil mengaplikasikan risetnya di klub profesional dan berbuah prestasi.
Mereka menginspirasi dengan berbagi pengalaman yang mereka punya.
Kemunculan analisis performa memang berawal dari berkembangnya ilmu sains olah raga. Namun, tanpa aplikasi nyata hipotesa dan angka hanyalah barang mentah.
Di salah satu sesi, Christopher Carling membuka rahasia kesuksesan Lille di musim 2010-2011.
Kala itu, ia menjabat sebagai Kepala Departemen Sains Olahraga di klub yang saat itu diperkuat Eden Hazard.
Apa yang menjadi faktor utama penuntasan dahaga gelar liga Lille selama 56 tahun?
Data teknikal aksi pemain dan tim tidak menunjukkan bahwa mereka merupakan yang terbaik pada musim itu. Begitu pun data daya jelajah yang bisa mewakili etos kerja tim.
Namun, ternyata pada musim tersebut Lille menjadi tim dengan tingkat cedera paling sedikit, sehingga tingkat ketersediaan pemain utama lebih tinggi dibanding tim lain.
Konsekuensinya utilisasi skuat pun menjadi lebih sedikit.
Utilisasi di sini adalah persentase pemain yang diturunkan dari total skuat yang didaftarkan.
Artinya, hampir di setiap pertandingan tim ini mampu menurunkan kombinasi pemain terbaiknya.
Jangan samakan dengan klub kaya Eropa yang belakangan bahkan mampu membuat dua tim dengan level setara dari skuat yang tersedia.
Bagi klub dengan tingkat kedalaman skuat terbatas, efektivitas rotasi adalah cara untuk menjaga konsistensi performa.
Dari konklusi tersebut, mereka menjadikan analisis cedera sebagai hal penting dalam memaksimalkan potensi skuat, juga dalam menambah rekrutan baru dari akademi maupun transfer dari klub lain.
Karena, cedera pemain adalah faktor terbesar yang bertautan langsung dengan ketersediaan pemain dalam pertandingan.
Salah satu fakta menarik yang ditemukan adalah ketika menganalisis risiko cedera saat pemain diturunkan di tiga pertandingan berturut dalam siklus singkat.
Di pertandingan kedua dalam siklus tersebut, pemain mengalami peningkatan risiko cedera di 15 menit akhir pertandingan.
Namun, berbeda di pertandingan ketiga, di mana risiko cedera meningkat jauh signifikan pada 15 menit pertama pertandingan.
Kemudian, risiko tipe cedera yang mungkin terjadi pun diamati.
Dari temuan ini, jika ingin mempertahankan formasi pemain yang sama dalam siklus tiga pertandingan, tentu para pemain memerlukan perlakuan khusus dalam persiapan menjelang pertandingan, terutama mereka yang memiliki riwayat cedera.
Pendekatan ini dimulai sejak musim 2009-2010.
Di musim pertama, Lille berhasil mereduksi insiden cedera hingga 46 persen.
Di musim kedua, tujuan utama mereka ialah mengoptimalkan skuat yang ada untuk membuahkan hasil gelar juara.
Semusim setelahnya, meski Lille gagal mempertahankan takhta, mereka tetap mampu mengamankan satu tempat di kualifikasi Liga Champions untuk musim berikut. (bersambung)
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar