Sejak kecil, Vincenzo Montella tahu bagaimana cara berjuang mengatasi tekanan hidup. Skill sintas semacam itu kembali dibutuhkan dalam beberapa hari ke depan.
Mungkin tak jauh membandingkan nasib anak-anak yang lahir di Italia Selatan pada era 1970-an dengan kondisi di daerah industri lain.
Di Pomigliano d'Arco, lapangan dan jalanan kerap ditutupi debu.
Situs industri otomotif Alfa Romeo Alfasud termasuk yang berdiri di kawasan metropolitan Napoli itu.
Nicola Montella salah satu pekerja di sana. Tak lain dia adalah ayah dari Vincenzo Montella.
Nicola bekerja sangat keras guna menghidupi lima anak, sedangkan istrinya fokus mengurus rumah tangga.
Nicola sangat berharap Vincenzo menjadi ahli perkayuan, tapi dia malah memainkan semua benda dengan kaki.
Pergulatan batin pertama buat Vincenzo ialah ketika datang tawaran Empoli yang ingin memboyongnya ke tim muda.
(Baca Juga: Neymar, Unai Emery, dan Ezechiel N Douassel dalam Kolam Ikan yang Sesak)
Kala itu, dia masih berusia 12-13 tahun. Tantangan berat buat Vincenzo karena ayahnya menentang rencana dia menjadi pesepak bola.
Bekerja 15 jam sehari, lalu menjadi tukang kayu lepas, Nicola memang nyaris tak pernah menyaksikan Vincenzo cilik bermain sepak bola sampai kelar.
"Seperti semua anggota lain di keluarga ini, saya tak setuju. Dia terlalu kecil untuk meninggalkan rumah," kata Nicola, dikutip BolaSport.com dari Violanews.
Mesti menarik garis 400-an kilometer ke arah barat laut untuk mengukur jarak Napoli dan Empoli.
Ac Milan Coach Vincenzo Montella Played Alongside with Inter Milan Coach Luciano Spaletti at Empoli pic.twitter.com/1WQKJnGJSN
— Magdy (@magdyheiba) October 21, 2017
Dasar sudah digariskan, Vincenzo akhirnya jadi juga bertualang ke Empoli.
Tantangan pertama sukses dijalani.
Di sana, dia menjadi sosok lebih dewasa dibandingkan bocah seusianya di bawah bimbingan Fabrizio Corsi, manajer yang kemudian menjadi Presiden Empoli.
Corsi sudah seperti godfather buat Montella, jadi tak heran kalau dia menyimpan kisah-kisah menarik.
Corsi ingat Montella suatu hari minta dibelikan ponsel. Montella memang kerap tepergok berada di telepon umum di Pontormo setiap hari. Entah seorang gadis atau keluarga yang dia hubungi.
Corsi akhirnya mengabulkan permintaan itu dengan memberinya ponsel Motorola model termutakhir kala itu yang mempunyai berat satu kilogram-an.
"Pada usia 16 tahun, dia sudah seperti pria sejati. Hal itu selalu menjadi ciri khas dia, bahkan ketika mengalami masalah berat," ucap Corsi.
Masalah berat yang dimaksud ialah cedera parah patah tulang panggul, infeksi virus, sampai myocardial infarction - nama keren buat serangan jantung.
Siapa sangka di balik perawakannya yang tampak senantiasa sehat walafiat, Montella pernah dilanda penyakit-penyakit itu justru pada masa perkembangan tubuh yang krusial.
Kala itu dia masih 19 tahun dan Empoli berkubang di Serie C1 atau kasta ketiga Liga Italia.
(Baca Juga: Alasan AC Milan Harus Pertahankan Vincenzo Montella, Setuju?)
Selama masa sulit ini, Montella terpaksa absen satu setengah musim kompetisi antara 1992-1994.
"Saya bilang kepada dokter, 'beginilah masa depan anak ini: masuk tim nasional, atau kembali ke Pomigliano dan bekerja sebagai pegawai di sana'," kata Corsi.
Tekad kuat Montella, motivasi, dan penanganan intensif dokter membuat dirinya lolos dari lubang jarum krisis.
Pria yang punya tanggal lahir sama dengan Fabio Capello - 18 Juni - itu malah bangkit mengesankan.
Pada musim baru 1994-1995, Montella mencetak 17 gol dari 30 partai, yang mengantar dirinya naik level menuju klub Serie B, Genoa, semusim kemudian.
Sejak itu, Montella meninggalkan Empoli dan Corsi menyaksikannya tumbuh, berkembang, berkeluarga, serta menjadi striker andalan Genoa, Sampdoria, Roma, timnas Italia.
Kita tinggalkan memori dua dekade silam dan menuju situasi teranyar pada pekan pertama November ini.
Pria yang ditemploki julukan Pesawat Terbang Kecil saat aktif bermain itu kembali dihadapkan pada situasi sulit, boleh jadi krisis.
Kariernya terancam. Minggu (5/11/2017), AC Milan asuhannya bertandang ke Sassuolo.
Musuh yang satu ini seperti setan. Pengaruhnya kadang bisa ditanggulangi, tapi sekalinya gagal bisa fatal.
(Baca Juga: Keren! AC Milan Ukir Rekor Gol dari 43 Operan, tapi Masih Kalah dari Catatan Manchester City)
Sassuolo sudah terkenal sebagai mimpi buruk bagi pelatih Milan. Massimiliano Allegri dipecat pada Januari 2014 setelah Milan ditekuk Sassuolo 3-4.
Clarence Seedorf membawa I Rossoneri (Merah-Hitam) menang pada ujung musim 2013-2014.
Namun, itu sekaligus menandakan partai terakhir Seedorf di kursi oblak Milan lantaran cuma finis di peringkat ke-8. Tanpa tiket ke Eropa.
Filippo Inzaghi malah bertekuk lutut dua kali di Liga Italia 2014-2015.
Pippo menuntaskan semusim penuh, tapi tak dipertahankan karena Rossoneri cuma nangkring di peringkat ke-10, lagi-lagi minus jatah pentas kontinental.
Jadi, dibilang langsung atau tidak langsung, kekalahan dobel dari Sassuolo memengaruhi nasib Inzaghi.
Musim 2015-2016, Sinisa Mihajlovic memukul Sassuolo pada duel pertama, tapi ganti digebuk 0-2 pada bentrokan kedua.
Hasil itulah yang mengawali streak nirkemenangan AC Milan dalam lima partai hingga berujung pemecatan Miha.
Cristian Brocchi kebagian memimpin tim pada sisa musim, sebatas memaku Milan di peringkat ke-7.
Tetap gagal lolos ke Liga Europa, tapi tebak siapa setingkat di atas mereka yang menggapai jatah terakhir itu? Ya, Sassuolo.
Montella kemudian tiba dengan embel-embel pengakuan sebagai ahli eksorsis alias pengusiran setan.
Berawal dari komentar Mihajlovic pada 2015 yang bilang "jika saya tak bisa membereskan masalah di Milan, mereka perlu memanggil pengusir setan".
"Sayalah orangnya," kata Montella menimpali ucapan sesama alumni Sampdoria itu saat presentasi sebagai arsitek Rossoneri setahun kemudian.
Ritual 'tolak bala' buat menebas jinx Sassuolo sukses dijalani Montella.
Ia membawa Milan menekuk tim Hijau-Hitam dalam dua pertemuan sekaligus dalam musim perdananya pada 2016-2017.
Sungguh prestasi langka yang gagal dieksekusi para pendahulunya di kursi pelatih Rossoneri.
Tembok kutukan lain yang sukses diruntuhkan Montella ialah membawa Milan juara Piala Super Italia 2016, titel perdana klub sejak memenangi gelar yang sama pada 2011.
(Baca Juga: Inilah Pembeda AC Milan dengan Tim 5 Besar Klasemen Liga Italia)
Penggemar novel dan musik - kecuali jaz - itu pun membawa Merah-Hitam menempati zona Eropa pada klasemen akhir Liga Italia, sesuatu yang gagal dicapai Seedorf, Inzaghi, dan Brocchi.
Kini, tuah Montella sebagai pengusir nasib buruk dan spesialis krisis diperlukan lagi jelang bertemu kembali dengan Sassuolo.
Akankah dia kembali sukses keluar dari tekanan dengan hasil baik? Atau kadar jimatnya sudah habis?
Montella punya rekam jejak bagus kontra Sassuolo.
Memang demikian, tetapi dia menyambut partai ini dengan modal satu kemenangan saja dalam 7 partai terakhir.
Bahkan lebih buruk dari bekal Allegri menjelang duel kontra musuh yang sama tiga tahun silam (1 kemenangan, 5 partai terakhir). Gawat!
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar