Ucapan Eboue lagi-lagi jadi indikasi.
“Saya harus bicara soal ini karena saya melihat beberapa teman yang depresi. Mereka tidak mendapat dukungan yang semestinya dan hal itu berujung buruk untuk mereka,” ujarnya.
Dalam situasi demikian, status sebagai pesepak bola seperti tidak ada artinya.
“Kalau Anda tidak cukup kuat, uang tak ada artinya. Itu yang harus Anda pahami,” kata dia melanjutkan.
Di Indonesia?
Di beberapa negara maju di Eropa, seperti di Inggris dan Jerman, sudah mengambil langkah untuk mengatasi persoalan ini.
PSSI-nya Jerman, DFB dan Hannover 96, mantan klub Enke, mendirikan Robert Enke Stiftung, yaitu yayasan yang memfokuskan kampanye tentang kesehatan mental pesepak bola.
Istri mendiang Enke, Teresa, juga meluncurkan EnkeApp, aplikasi berisi informasi dan nomor darurat untuk membantu pencegahan bunuh diri.
Di Inggris, peran asosiasi pemain profesional PFA juga diharapkan naik untuk topik kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri.
Lalu, bagaimana di Indonesia?
Kalau melihat kompleksnya permasalahan pengembangan prestasi sepak bola dalam negeri, mungkin persoalan ini (lagi-lagi) belum jadi prioritas.
Namun, seandainya kesadaran publik tentang topik kesehatan mental sudah lebih baik, bukan tidak mungkin, cepat atau lambat tema ini jadi perhatian baik di dunia olahraga maupun secara umum.
Masalahnya, sudah siapkah kita?
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar