Namun, tradisi memang condong ke arah situ. Bianconeri selalu sukar dikejar kalau sudah naik ke puncak klasemen. Tengok contoh musim 2015-2016.
Pada awal musim itu, Juve sempat terpuruk di peringkat ke-17, 16, 15, lalu menggapai posisi ke-10, 7, 6, 5, terus naik, hingga memuncaki klasemen sejak pekan ke-25 dan tak oleng lagi sampai jadi juara!
Mental ini yang mungkin belum tertanam di skuat Napoli beberapa musim terakhir.
Mungkin sekaranglah saat paling tepat buat membuktikan asumsi tersebut salah.
Hanya, Neapolitan juga harus ingat delusi scudetto yang melanda pada 1987-1988.
Pada musim itu I Partenopei juga mengawang di posisi teratas ketika pekan ke-27.
Kalau memakai konversi angka zaman sekarang - satu kemenangan bernilai 3 angka - mereka mengemas 60 poin, unggul tiga atas AC Milan (57).
Apes bagi pasukan asuhan Bianchi yang menargetkan juara dua kali beruntun kala itu, fokus Napoli kendur pada periode krusial.
Dalam tiga partai terakhir (saat itu Serie A hanya berlangsung 30 pekan), Napoli kalah tiga kali beruntun!
Masing-masing terjadi saat head-to-head dengan rival langsung, Milan (2-3), lalu Fiorentina (2-3), dan Sampdoria (1-2).
(Baca Juga: Andrea Pirlo dan 10 Penyeberang Lain antara Juventus, AC Milan, dan Inter Milan)
Pada lain pihak, AC Milan menambah 5 angka dengan menekuk Napoli dan imbang lawan Juventus serta Como.
AC Milan asuhan Arrigo Sacchi pun menyalip Napoli dan finis sebagai juara Liga Italia dengan keunggulan dua angka.
Sepuluh partai sisa nanti bakal menjadi bukti apakah Maurizio Sarri bakal menyetarakan dirinya naik level seperti Ottavio Bianchi dan Alberto Bigon, ataukah sebatas menjadi kesemenjanaan yang permanen.
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar