Profesor Ingo Frobose juga menyatakan kerumitan game-game yang dimainkan di eSports menambah tantangan bagi atletnya.
"Di samping kemampuan motorik yang di atas rata-rata, game-game yang dimainkan di eSports membutuhkan pengertian taktik di level yang tinggi agar atlet bisa mengalahkan lawannya."
Para peneliti di Universitas Olahraga Jerman melakukan tes untuk melihat seberapa berat atlet eSports menggunakan pikirannya dengan menguji tingkat stres hormon cortisol.
"Jumlah cortisol yang diproduksi atlet eSports berada di level yang sama dengan seorang pebalap mobil. Ini dikombinasikan dengan detak jantung yang tinggi, terkadang mancapai 160-180 detak per menit. Angka itu hampir sama dengan yang terjadi pada atlet lari maraton. Jadi, dalam opini saya, eSports sama beratnya dengan sebagian besar olahraga lain," kata Frobose lagi.
(Baca Juga: Jamie Vardy Ungkap Rahasia agar Tidak Bosan Mencetak Gol)
Di tengah kontroversi yang tercipta apakah eSports bisa dikategorikan sebagai olahraga atau tidak, yang jelas pengakuan dari entitas olahraga terhadap eSports sekarang sudah semakin banyak.
Saat ini eSports sedang dipertandingkan di ajang olahraga multicabang terbesar di Asia, Asian Games 2018, walaupun masih berstatus cabang olahraga ekshibisi.
Rencananya eSports akan benar-benar memperebutkan medali pada Asian Games 2022.
Di level Olimpiade, status eSports juga terus meningkat.
Komite organisasi untuk Olimpiade Paris 2024 sedang berdiskusi dengan IOC dan berbagai organisasi profesional untuk memasukkan eSports.
Mereka menyatakan perlu memasukkan eSports untuk membuat Olimpiade tetap relevan dengan penonton generasi muda.
Editor | : | Dwi Widijatmiko |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar