JAKARTA, KOMPAS - Pesepak bola muda Indonesia berusia di bawah 16 tahun sering kali juara di ajang internasional.
Namun, memasuki usia remaja hingga dewasa, sepak bola Indonesia tidak kompetitif. Hal itu karena ada kekeliruan dalam pembinaan sepak bola di Indonesia.
”Jangan bangga juara di level muda. Sebab, itu adalah juara yang semu. Juara sejati itu ketika di level senior,” ujar Timo Scheunemann, mantan pelatih yang kini menjadi analis sepak bola, Minggu (30/6/2019), di Bogor, Jabar.
Timo menyampaikan hal itu di sela-sela acara ”Meet The World” yang merupakan rangkaian persiapan Tim LKG-SKF Indonesia menuju Piala Gothia 2019 di Gothenburg, Swedia, 14-20 Juli.
Apabila diibaratkan perlombaan lari 100 meter, lanjut Timo, pembinaan sepak bola muda adalah masa awal start lari.
Baca Juga: Liga Kompas Kacang Garuda U-14: Menembus Ratusan Kilometer demi Berkompetisi
Pada level tersebut, semua negara berada di posisi yang sama. Secara teknis, semua pemain baru belajar mengenal dasar-dasar sepak bola. Secara fisik, tubuh mereka pun belum jauh berbeda.
Di masa itu, yang membedakan hanya paradigma dalam pembinaan. Di negara-negara maju, pesepak bola usia muda diarahkan lebih banyak mengenal dan menikmati permainan.
Mereka tidak dituntut juara. Sebab, masa itu adalah saat pembentukan fondasi, karakter, dan sikap.
”Tidak heran, negara-negara maju sering kali kalah di kejuaraan sepak bola usia muda,” kata Timo.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Kompas |
Komentar