Justru apabila keluarga korban merasa keberatan sudah menjadi kewajiban penyidik untuk menerangkan secara jelas maksud dan tujuan dilakukannya proses otopsi.
"Menilik beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia ternyata pihak Kepolisian dapat langsung melakukan proses otopsi tanpa persetujuan dari pihak keluarga dan dalam banyak pemberitaan di berbagai media pihak Kepolisian selalu konsisten menyatakan bahwa persetujuan keluarga dalam melakukan proses otopsi bukanlah suatu keharusan atau syarat untuk dapat dilaksanakannya otopsi," ujar Anjarnawan Yusky.
Baca Juga: Febri Hariyadi Tak Temui Kendala Berlatih Daring Bersama Skuad Persib
"Namun yang menjadi pertanyaan, mengapa dalam proses hukum tragedi Kanjuruhan ini tidak diperlakukan demikian?" bebernya.
Ia lalu menyinggung contoh kasus kematian 6 orang anggota FPI dan kasus pembunuhan brigadir Joshua Hutabarat.
Dikatakan, tuntutan pada Kejati untuk mengarahkan polisi melengkapi hasil autopsi dan pemeriksaan luka korban secara prisip sesuai dengan rekomendasi dari TGIPF yang dipimpin langsung oleh Menkopolhukam yang meminta dilakukan autopsi.
"Pada bab V bagian rekomendasi bagi POLRI huruf H berbunyi 'melakukan otopsi terhadap pasien yang meninggal dengan ciri-ciri yang diduga disebabkan oleh gas air mata, guna memastikan faktor-faktor penyebab kematian", ujar Anjarnawan Yusky.
"Oleh karena itu sudah semestinya Polri dan Kejaksaan RI menghormati dan mematuhi rekomendasi yang telah disampaikan oleh TGIPF yang dibentuk langsung oleh Presiden RI," lanjutnya.
Baca Juga: Peringatan dari PSM Makassar, KLB PSSI Tak Boleh Dipaksakan
Sebagai informasi, saat ini setidaknya sudah ada dua keluarga korban Tragedi Kanjuruhan yang bersedia memberikan izin autopsi.
Editor | : | Mochamad Hary Prasetya |
Sumber | : | Suryamalang.com |
Komentar