BOLASPORT.COM - Eric Cantona mungkin menjadi penyesalan terbesar dalam sejarah transfer Liverpool. Kenapa?
Sang Raja, demikian julukan Eric Cantona ketika berseragam Manchester United.
Striker kebangsaan Prancis itu menjadi idola publik Old Trafford setelah mempersembahan empat trofi Liga Inggris dan dua titel Piala FA.
Sebenarnya Liverpool punya kesempatan untuk membelokkan jalan Cantona ke Merseyside.
Ceritanya terjadi pada 1992 ketika Cantona berstatus pemain Leeds United.
Pelatih The Reds kala itu, Graeme Souness, ditawari peluang buat merekrut si penyerang kelahiran Marseille.
Namun, dia menolak untuk mempekerjakan pemain yang bisa saja menjadi legenda di Anfield.
Souness mengetahui Cantona sebagai sosok kontroversial dan khawatir bakal menciptakan konflik jika datang ke Liverpool.
"Saya sedang memadamkan api di sini (Liverpool), mencoba mengeluarkan beberapa orang yang menolak pergi, dan memperjuangkan ruang ganti," kata Souness dalam wawancara pada 2020.
"Hal terakhir yang tidak saya butuhkan adalah sosok kontroversial lainnya," ucap pria dari Skotlandia itu menambahkan.
Alih-alih merekrut Cantona, Souness mendatangkan Istvan Kozma asal Hungaria.
Keputusan tersebut bisa dibilang sebagai sebuah blunder.
Pasalnya, Kozma gagal bersinar dalam balutan seragam Liverpool.
Dia hanya memainkan enam pertandingan selama satu tahun membela The Reds.
Nasib Kozma sangat bertolak belakang dengan Cantona.
Sang Raja berevolusi menjadi legenda Man United.
Menggunakan nomor punggung 7 yang ikonik, Cantona menggelontorkan total 82 gol dalam 185 penampilan.
Di balik performa memukau, pria berpostur 187 sentimeter itu tak lepas dari kontroversi.
Aksi tergila Cantona terjadi ketika melepaskan tendangan kungfu ke suporter Crystal Palace pada 25 Januari 1995.
Imbasnya, Cantona diganjar hukuman larangan bermain selama delapan bulan oleh Federasi Sepak Bola Inggris.
Tak heran jika rumor kepergian dia dari United menyeruak pasca-insiden tendangan.
Namun, setelah menyelesaikan masa hukuman, Cantona tetap mengabdi buat United.
Cantona baru meninggalkan Teater Impian pada 1997.
Editor | : | Ade Jayadireja |
Sumber | : | dailstar.co.uk |
Komentar