Beberapa insiden bahkan dialami di posisi krusial yaitu pertama di sprint GP Catalunya (12 poin) lalu ketiga di balapan GP Aragon (16 poin) dan GP Emilia Romagna (16 poin).
Dengan konsistensi yang dimiliki Martin, Bagnaia tampaknya harus mengharapkan terjadinya kemalangan yang sama.
Bagaimana tidak? Kecuali saat terjatuh (3 kali) atau blunder dalam flag-to-flag, Martin tak pernah finis lebih buruk dari posisi keempat.
Jika Martin selalu finis keempat sementara Bagnaia selalu menang dalam balapan sprint dan GP pada seri terakhir, sang juara bertahan tetap kalah sejauh 6 poin.
Melihat selisih poin, Bagnaia hanya akan juara dunia jika menyapu bersih kemenangan di seri terakhir (total 37 poin) lalu Martin mendapat kombinasi posisi 7 dan 8 (11 poin).
(Ralat: Bagnaia perlu Martin untuk selalu finis di luar posisi 6 besar)
Mustahil? Jelas mengingat stabilnya Martin di grup depan saat finis dan fakta bahwa jumlah pembalap yang bisa menandingi ritmenya bisa dihitung jari.
Satu-satunya skenario yang masuk akal bagi kesuksesan Bagnaia adalah insiden atau kendala teknis terhadap Martin.
Tentunya, mengharapkan lawan celaka tidak mencerminkan semangat olahraga.
Pun sebelum memperhatikan posisi Martin, Bagnaia lebih sibuk mencari cara agar bisa menang pada sprint yang menjadi teritori Martin.
Editor | : | Ardhianto Wahyu |
Sumber | : | MotoGP.com |
Komentar