Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Akhirnya, perjuangan timnas U-22 Indonesia untuk meraih emas pupus setelah mengalami kekalahan 1-0 dari Malaysia di partai semifinal Sea Games 2017.
Banyak yang memberikan pujian kepada timnas dan tim kepelatihan di bawah Luis Milla Aspas atas perjuangan tim yang tidak kenal menyerah serta permainan yang semakin baik.
Namun, tidak sedikit pula yang kesal dengan pencapaian timnas yang gagal meraih emas sejak emas sepak bola terakhir pada tahun 1991.
Satu hal yang pasti, timnas menyelesaikan SEA Games 2017 dengan nada positif setelah mengalahkan Myanmar 3-1 dalam perebutan medali perunggu.
Patut diberi apresiasi yang tinggi kepada para pemain yang masih bersemangat dalam menjalani pertandingan tersebut dengan semangat yang tinggi dan tidak menganggapnya sebagai “lost cause”.
Di sini saya ingin memberikan sedikit catatan mengenai perjalanan timnas di SEA Games 2017.
Salah satu hal yang saya catat adalah masih banyaknya pelanggaran tidak perlu yang dilakukan para pemain timnas yang justru merugikan tim dalam perjalanan mereka menuju semifinal.
Sikap pemain yang terbawa permainan lawan dan cenderung kasar sangat merugikan tim.
Terutama dalam keikutsertaan pada turnamen seperti SEA Games atau turnamen lain yang mempunyai jarak waktu yang pendek antarpertandingan.
Para pemain seperti tidak dapat menahan emosi dan cenderung berusaha melukai atau memprovokasi lawan.
Kita tidak bisa memungkiri kemungkinan para pemain melakukan hal tersebut karena terbebani target medali emas.
Namun, kita ada di masa kamera ada di seluruh penjuru lapangan dan dapat menangkap tindakan para pemain.
Belum lagi apabila VAR diterapkan secara penuh di seluruh turnamen FIFA.
PSSI sepertinya perlu mengantisipasi dengan membekali para pemain anggota timnas di seluruh kelompok usia dengan pelatihan mengatur emosi.
Lebih baik lagi apabila program tersebut juga diterapkan kepada pemain di seluruh klub Indonesia.
Emosi memang akan timbul dalam sebuah pertandingan, namun saya amati bahwa para pemain belum bisa mengelola emosi tersebut.
Pemain masih melakukan pelanggaran tidak perlu yang cenderung merugikan tim di pertandinganberikutnya.
Andai Hansamu Yama, Marinus, dan Hargianto tidak mendapat kartu kuning di partai melawan Kamboja, otomatis pelatih Luis Milla akan mempunyai lebih banyak pilihan dalam partai melawan Malaysia.
Apabila para pemain lebih tenang bukan tidak mungkin hasilnya akan lain.
Luis Milla menegur Marinus atas perbuatannya dalam partai melawan Kamboja.
Namun, Marinus kembali melakukan tindakan emosional saat melawan Mynmar sehingga ditarik keluar pada babak kedua.
Soal emosi pemain tersebut, kita harus akui bahwa hal tersebut merupakan cerminan dari kompetisi dalam negeri.
Pelanggaran-pelanggaran keras, cenderung kasar, yang dilakukan para pemain masih ditolerir.
Apabila pelanggaran tersebut dilakukan di kompetisi luar negeri maka akan berbuah kartu kuning atau bahkan merah.
Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemain.
Pihak klub mempunyai kewajiban untuk membina para pemain agar tidak emosional dan bersikap sopan terhadap wasit.
Dibutuhkan kerja sama menyeluruh antara PSSI dan klub.
Di Liga Inggris ada aturan yang mengatur mengenai sikap para pemain, dan tidak jarang pemain dihukum karena sikapnya di lapangan yang disebut unsportmanship behaviour.
Pihak Football Association sadar bahwa pertandingan sepakbola tidak hanya ditonton oleh orang dewasa, juga anak-anak.
Mereka tidak ingin anak-anak melihat perbuatan pemain yang bersikap tidak sportif, kemudian menirunya saat mereka bermain di lapangan.
Hal ini merupakan salah satu bentuk pembinaan tidak langsung oleh Asosiasi Sepak Bola negara yang bersangkutan.
Kemudian kita juga harus melihat bahwa meski menerima kekalahan dari Malaysia di semifinal SEA Games 2017, bukan berarti vonis kegagalan harus diberikan kepada pelatih Luis Milla.
Dalam hal ini kita patut memberikan apresiasi kepada PSSI yang tidak terlalu terburu-buru dalam mengevaluasi tim kepelatihan.
Sudah bukan masanya lagi kita mengharapkan hasil instan dengan terpaku pada target jangka pendek dan lupa bahwa ada target yang jauh lebih besar seperti Asian Games atau KualifikasiPiala Dunia.
Lebih baik kita gagal pada ajang seperti SEA Games dengan tujuan menempa pemain muda, namun berhasil dalam ajang Asian Games, Olimpiade atau bahkan lolos ke Piala Dunia.
Beberapa anggota timnas dalam Sea Games 2017 dapat diharapkan untuk menggantikan para kakak mereka di timnas Senior.
Septian David Maulana, Osvaldo Reey, Hargianto, hingga Evan Dimas dkk terbukti mampu menampilkan penampilan yang ciamik dan menghibur selama SEA Games 2017.
Terus terang, saya optimistis melihat masa dengan timnas kita ke depan apabila melihat cara bermain timnas U-22 yang mempunyai ciri permainan cepat melalui sayap dalam menyerang.
Tim ini tidak takut dalam melakukan tembakan jarak jauh yang terarah dan mempunyai dua penjaga gawang yang sama baik kualitasnya.
Apabila ditopang dengan pertahanan yang kokoh, niscaya akan dapat menjadi tim yang tangguh di masa depan.
Ketakutan yang timbul adalah saat mereka kembali ke klub dan kembali terekspos dengan hal-hal negatif yang masih menjangkiti sepak bola Indonesia.
Untuk menghindari hal tersebut perlu dibangun pusat pelatihan timnas (centre of excellence) seperti Clairefontaine di Prancis atau St George's Park di Inggris.
Hal ini semakin diharapkan mengingat timnas sampai saat ini tidak mempunyai pusat pelatihan dan masih menumpang di lapangan milik swasta.
Kita bisa mencontoh Jepang memulai proyek untuk lolos ke Piala Dunia 1998 cukup lama, yakni sejak 1993.
Mereka melakukan profesionalisme liga dan membentuk pusat pelatihan (dari tingkat distrik, kabupaten, provinsi, hingga pusat pelatihan national (national training center), sebelum akhirnya lolos ke Piala Dunia 1998 di Prancis.
Meski nyaris lolos pada Piala Dunia 1994, Jepang tidak patah semangat dan terus berpatokan pada road map yang ada.
Pembangunan pusat pelatihan semakin dirasa mendesak. Ingat, kita akan semakin tertinggal mengingat negara tetangga seperti Singapura sudahmemilikinya.
Akhirnya, semua kembali kepada para pemangku kepentingan sepak bola di Indonesia, termasuk pemerintah dan para pemilik klub.
Apakah mau mengorbankan masa depan sepak bola Indonesia dengan mengedepankan ego untuk mencapai kepentingan jangka pendek sesaat?
Atau kita sama-sama membangun sebuah kekuatan sepak bola yang tidak saja akan disegani di kawasan Asia Tenggara, juga dunia.