Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Saat meliput pergelaran Euro 2016 di Prancis tahun lalu, saya menyempatkan bertemu dengan kawan lama. Nama teman saya itu Aurelien.
Saya biasa menyapanya Aure. Ia bocah asli Mitry. Rumahnya tak jauh dari Stade de France, stadion kebanggaan publik Prancis.
Suatu hari saya mengagendakan santap siang dengan Aure. Bukan di restoran, tapi di apartemen yang saya sewa di daerah Montmartre.
Kami bagi tugas. Saya pergi belanja dengan daftar yang sudah disiapkan Aure. Sementara, teman saya itu berperan sebagai koki.
Ketika berbelanja, saya sempat kaget karena keju yang saya beli ternyata lebih mahal ketimbang harga daging ayam fillet.
Sudah menjadi kebiasaan bagi orang Prancis untuk bersantap dengan ditemani keju.
"Saya tak bisa makan kalau tanpa keju," kata Aure.
(Baca juga: Neymar: Presiden Barcelona adalah Lelucon)
Keju yang saya beli jenis Beaufort. Harganya sampai belasan euro. Bandingkan dengan daging ayam di keranjang belanja yang tak sampai 10 euro.
Keju mahal itu lantas saya coba. Pertama-tama lidah Indonesia saya ini perlu adaptasi. Tapi, lama kelamaan saya bisa menikmati.
"Bagaimana, enak, 'kan? "Ana rega, ana rupa," kata Aure.
Idiom bahasa Jawa tadi wajar dikenal Aure karena ia sempat lama bermukim di Yogyakarta.
"Kalau orang Prancis bakal bilang le prix s'oublie, la qualite reste (harga terlupakan, kualitas terjaga)," tutur Aure menambahkan.
Idiom bermakna sama nyaris bisa ditemui di berbagai belahan dunia. Tapi, ada satu dunia yang belakangan menolak pepatah tadi.
Dunia itu adalah sepak bola. Fenomena yang terjadi di bursa transfer musim panas 2017/18 kian menajamkan gejala bahwa ada harga dalam sepak bola, tapi tanpa rupa.
Harga selangit tak lagi paralel dengan kualitas kelas dunia. Lihat saja bagaimana Manchester City harus menghamburkan uang senilai 57 juta euro untuk memboyong Kyle Walker dari Tottenham.
Gila
Bayangkan dengan uang sebanyak itu, 20 tahun lalu City bisa mendatangkan dua Ronaldo Luis Nazario sekaligus!
Saat direkrut Inter dari Barcelona pada 1997, banderol peraih tiga trofi pemain terbaik dunia versi FIFA tersebut "cuma" 28 juta euro.
Walker pemain bagus. Tapi, tetap saja orang tak bisa menyebut namanya dalam satu hembusan napas dengan sosok legendaris seperti Ronaldo, Menurut studi yang dilakukan CIES Football Observatory, harga asli Walker seharusnya cuma 40 juta euro.
(Baca juga: VIDEO - Insiden Jari Tengah Dele Alli di Laga Kualifikasi Piala Dunia 2018 untuk Siapa Sih?)
Peningkatan nominal kerjasama hak siar televisi, ekspansi lintas benua klub, plus permainan agen menjadi pemicu meroketnya banderol harga pemain.
Bayangkan, Sunderland, juru kunci Premier League 2016/17, bisa meraup pemasukan sekitar 101,4 juta euro dari hak siar.
Pemasukan besar dari hak siar membuat banyak klub kini berani jor-joran di bursa transfer. Keberadaan agen culas lantas membuat harga pesepak bola kian melangit dan tak masuk akal.
La Gazzetta dello Sport baru-baru ini memberitakan bahwa nominal sebesar 982 juta euro dihabiskan klub-klub untuk membayar agen pada rentang 2013 sampai 2016.
Status sebagai pemain termahal dunia pun kini tak bisa lama dipegang seseorang.
Dalam rentang empat tahun terakhir ada tiga pemecahan rekor pemain termahal, mulai dari Gareth Bale (100 juta euro), Paul Pogba (105), hingga yang paling gres, Neymar Jr (222).
Presiden PSG, Nasser Al-Khelaifi, berujar bahwa biaya mahal pembelian Neymar dari Barcelona bakal bisa segera tertutupi, menilik status sang pemain anyar sebagai brand global.
Tapi, transaksi tersebut tetaplah janggal di mata para praktisi bisnis.
"Kata pertama yang terlintas di benak saya adalah gila. Tak mungkin. Secara ekonomi tak masuk akal. Lebih dari gila," kata Marc Ganis, salah satu pendiri Sportscorp, perusahaan bisnis olahraga ternama yang berbasis di Chicago.
Beruntung inflasi besar-besaran harga pemain sepak bola tak menular ke produk keju Prancis. Jika begitu, bisa-bisa teman saya, Aure, mati kelaparan.
@SEMeraviglioso