Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Manchester City dan Tiga Pilar Kedigdayaan Pep Guardiola

By Firzie A. Idris - Rabu, 7 Maret 2018 | 20:04 WIB
Gelandang Manchester City, Bernardo Silva (tengah), merayakan golnya bersama rekan setim dalam laga Liga Inggris kontra Chelsea di Stadion Etihad, Manchester, pada 4 Maret 2018. (ANTHONY DEVLIN/AFP)

Konsekuensi logis dari kekuatan tak terbendung Manchester City kian terlihat.  

Manchester City kembali membuktikan kedigdayaan mereka di Liga Inggris kala menumbangkan Chelsea 1-0 pada Minggu (4/3/2018).

Skor memang tipis di laga tersebut tetapi The Citizens bebas melakukan apa yang mereka mau karena Chelsea bertahan sangat dalam dan enggan menekan mereka.

Bahkan, ada beberapa momen di mana para pemain City melakukan 5-6 operan tanpa ditekan sedikit pun.

Man City mencatatkan 620 operan dalam 60 menit pertama, satu operan setiap enam detik.

(Baca Juga: Seragam AC Milan, Mimpi Besar Davide Astori yang Tak Pernah Terwujud Hingga Ajal Menjemput)

Begitu peluit akhir berbunyi, rumput Stadion Etihad menjadi landasan di mana tim tuan rumah menorehkan 902 operan sukses sepanjang pertandingan, sebuah rekor di Liga Inggris.

Jumlah itu hampir sama dengan total operan gelandang Arsenal, Aaron Ramsey, sepanjang musim (845).

Antonio Conte dibombardir kritik. Chelsea di-bully di media sosial.


Leroy Sane (tengah) dihadang Antonio Ruediger (tengah), Danny Drinkwater (kiri) dan Andreas Christensen (kanan), saat laga lanjutan Liga Inggris antara Manchester City kontra Chelsea di Stadion Etihad pada Minggu (4/3/2018).(OLI SCARFF / AFP)

"Saya tak mengingat ada musim di mana tim-tim bermain sangat defensif, bahkan ketika dahulu Arsenal dan Manchester United mempunyai skuat-skuat terhebat mereka sekali pun," ujar Alan Shearer, top scorer sepanjang masa Premier League, seperti dikutip BolaSport.com dari BBC Match of the Day 2.

Ia menambahkan bahwa selama berkarier di Liga Inggris sejak awal 1990-an, ia tidak pernah melihat begitu banyak tim bermain negatif seperti ketika menghadapi Manchester City.

Di Inggris, Shearer terkenal karena komentarnya yang suka "ngasal" jika menjadi pandit.

(Baca Juga: Terbongkarnya Curhatan Arsene Wenger kepada Para Staf Pelatih, Isinya Buat Fans Arsenal Kaget!)

Namun, kali ini poinnya menarik.

Selain Wigan Athletic, Liverpool, dan Shakhtar Donetsk, semua tim yang menghadapi Manchester City musim ini tak kuasa menahan mereka.

Arsenal digasak 3-0 dua kali dalam waktu hanya lima hari.

Manchester United hanya menorehkan 35 persen penguasaan bola di Old Trafford kontra City.

Chelsea hanya bisa mencatatkan dua tembakan tepat sasaran selama 180 menit pertandingan.

Mereka datang. Mereka melihat. Mereka takut. 

Kegarangan Manchester City musim ini membuat mereka jadi lawan yang disegani dan cenderung dihindari.

Saya jadi ingat, dan penggemar komik Dragon Ball Z juga pasti tahu, bahwa Kuririn dan Son Gohan tidak akan bertarung satu lawan satu dengan Frieza ketika pertama tiba di Planet Namec.

Pun sama juga di dunia komik Amerika Serikat.

DC Comics, menurut saya, mengeluarkan salah satu timeline komik terbaik dalam bentuk Injustice.

(Baca Juga: VIDEO - Tertiup Angin, Paul Pogba bak Orang Mabuk Saat Lawan Crystal Palace)

Di semesta timeline tersebut, Superman mengambil alih kendali dunia sebagai diktator brutal setelah Joker menipunya untuk membunuh Louis Lane, sang istri, dan bayinya yang masih di kandungan.

Batman lalu memimpin perlawanan untuk menjatuhkan sang Man of Steel.

Namun, ia menyadari bahwa menyerang Superman secara terbuka sama saja bunuh diri.

Batman (seperti biasa) memilih menghadapi Superman dari bayang-bayang.

Menurut saya, di sinilah fase Liga Inggris sekarang.

Manchester City kini bagai Superman dan Frieza, terlalu menakutkan untuk dihadapi secara terbuka.

Lagipula, dunia kepelatihan sekarang memaksa pelatih untuk jauh lebih mempertimbangkan pendekatan mereka ke setiap laga.

Bagaimana tidak, umur setiap pelatih di klub Premier League sekarang hanya seumur jagung.

Selip sedikit dan masa depan mereka jadi pertaruhan.

Sebagai fans, tentu kita tak menanggung beban ini. Namun, seorang pelatih Liga Inggris pasti memperhitungkan cost and benefit melakukan strategi banzai ke Manchester City.


Manajer Manchester City, Josep Guardiola (kedua dari kiri), merayakan kemenangan atas Huddersfield Town dalam laga Liga Inggris di Stadion John Smith's, Huddersfield, pada 26 November 2017.(OLI SCARFF/AFP)

Sehingga, Pep Guardiola ibarat masuk tol untuk melengkapi 14 trofi yang ia menangkan di Barcelona dan 7 dalam hanya 3 tahun di FC Bayern.

Transformasi yang ia datangkan luar biasa memang, apalagi jika mengingat betapa besar kritik yang ia terima musim lalu.

Kendati menghabiskan 450 juta pounds atau 9 triliun rupiah untuk merombak skuat, kehebatan Manchester City di bawah Pep Guardiola tidak datang semata karena uang.

Lihat saja Paris Saint-Germain.

Mereka mendapat kritik setelah gagal melewati Real Madrid di babak 16 besar Liga Champions, Rabu (7/3/2018) dini hari.

"Uang saja tak bisa membeli Liga Champions," menjadi tema yang berkeliaran di media sosial.

Padahal, keluarga kerajaan Qatar datang menyokong PSG hanya tiga tahun setelah kubu Abu Dhabi mengambil alih Manchester City dari Thaksin Shinawatra pada 2008.

Membeli pemain-pemain mahal saja bukan jalan bebas halangan menuju kesuksesan, yang berbeda dari Man City adalah ide di balik semua aktivitas klub.

Hal ini saya pelajari selama 9 bulan bekerja bersama mereka ketika klub menjuarai Premier League 2012-2014. 

Sebagai bagian dari visi misi organisasi mereka, City punya tiga pilar diferensiasi yang diharapkan dapat membedakan City dari klub-klub Eropa lain.

  • Beautiful Football (Bermain sepak bola indah)
  • Football Citizenship (Keanggotaan sepak bola)
  • A true global approach (pendekatan yang benar-benar global)

Pilar kedua mereka tunjukkan dengan skema keanggotaan Cityzenship dan pilar ketiga diwujudkan dengan betapa agresifnya City Football Group merambah pasar Asia dan Amerika Serikat.

Nah, pilar pertama tersebut mereka jalankan dengan fokus dan visi yang luar biasa.

Pilar pertama tersebut dibagi lagi ke beberapa sub poin:

  • Bermain sepak bola atraktif
  • Bermain konsisten di setiap jenjang umur
  • Memenangkan laga "dengan cara benar"
  • Mendulang sukses berkelanjutan melalui CFA (City Football Academy)

Permainan City musim ini mencerminkan setiap poin di atas.

Mereka memainkan sepak bola luar biasa menghibur yang tak jarang mengundang decak kagum. 

Tim junior City punya kesamaan filosofi dengan tim utama, hal ini dipermudah oleh bersatunya lapangan latihan tim senior City dengan yang junior di City Football Academy.

Lulusan akademi mereka mulai mencicipi tim utama seperti Phil Foden serta Oleksandr Zinchenko.

Drive yang Manchester City punya ini memang benar membedakan mereka dari para kompetitor lain di Inggris.

Guardiola tahu persis pemain seperti apa yang mereka butuhkan sehingga di bawah dia tidak ada pembelian yang (sejauh ini) terlihat mubazir.

Bahkan Danilo yang kerap membelah pendapat pun kian menemukan tempatnya di skuat.

Dukungan pemilik, visi dan misi jelas, serta pelatih kelas dunia dengan filosofi sepak bola menyerang yang bisa diterjemahkan dengan baik oleh para pemainnya.

Apa lagi yang Manchester City butuhkan?

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P