Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
BOLASPORT.COM - Kekalahan Inggris lewat babak adu penalti pada final EURO 2020 seperti jadi sekuel untuk mimpi buruk Gareth Southgate.
Inggris dan Italia bersua pada final EURO 2020 di Stadion Wembley, London, Inggris, Senin (12/7/2021) pukul 02.00 dini hari WIB.
Ini merupakan babak final keempat untuk Italia sejak mereka juara pada 1968 dan menjadi runner-up pada EURO 2000 dan 2012.
Adapun Inggris menjajal final EURO perdana mereka. Laga puncak EURO 2020 juga menjadi final kedua The Three Lions sejak menjuarai Piala Dunia 1966.
Pertandingan baru memasuki menit ke-2 ketika Luke Shaw membangun asa untuk Inggris.
Lewat sebuah skema serangan balik Inggris, Kieran Trippier mengirim umpan silang ke arah sisi kanan kotak penalti Italia.
Bola mendarat di kaki kiri Luke Shaw yang menunggu di dekat gawang Italia.
Bek Manchester United tersebut langsung meneruskannya dengan tendangan keras kaki kiri ke arah gawang Gianluigi Donnarumma.
Baca Juga: EURO 2020 -Nonton di Rumah sejak 28 Juni, Cristiano Ronaldo Jadi Top Scorer
Keunggulan Inggris bertahan hingga babak kedua. Mereka seperti sudah sangat dekat dengan trofi juara.
Akan tetapi, skenario itu runtuh pada menit ke-67 oleh gol Leonardo Bonucci setelah kemelut di depan gawang Jordan Pickford.
Kedudukan menjadi sama kuat 1-1 dan tak berubah hingga akhir pertandingan.
Baca Juga: EURO 2020 - Gianluigi Donnarumma, dari Musuh Milanisti Jadi Pahlawan Negara
Kedua tim tak mampu membuat gol tambahan pada 30 menit waktu ekstra dan laga berlanjut ke adu penalti.
Pelatih Inggris, Gareth Southgate, punya cerita pahit soal adu penalti.
Pada 25 tahun silam, tepatnya EURO 1996, ia menjadi bagian skuad Inggris yang menjamu Jerman pada semifinal turnamen tersebut.
Seperti final EURO 2020, laga Inggris versus Jerman berlangsung di Wembley.
Kesamaan lain adalah saat itu kedua tim juga harus melewati adu penalti untuk menentukan pemegang tiket ke babak final.
Southgate maju sebagai penendang terakhir Inggris saat kedudukan masih sama kuat 4-4.
Sosok yang saat itu memperkuat Aston Villa tersebut mendapat nasib buruk.
Ia gagal menaklukkan Andreas Koepke, penjaga gawang tim Panser.
Adapun semua algojo Jerman sukses memperdaya kiper Inggris, David Seaman.
This has been some journey. As a nation, we were united in a belief that we can achieve something special after the hardest of years.
It wasn't meant to be, but this team is just getting started. They will continue to make you proud, both on and off the pitch. pic.twitter.com/vDaTXvo6cH
— England (@England) July 11, 2021
Kesalahan tersebut masih menempel lekat di memori Southgate.
“Saya tidak pernah merasa marah. Hanya ada penyesalan, rasa bersalah, dan keinginan bertanggung jawab,” kata Southgate pada 2020.
“Sedikit-sedikit perasaan itu masih ada pada diri saya. Di bawah kondisi tertekan, saya gagal. Sulit menerima kenyataan itu," ucapnya lagi.
Dalam penulisan karakter di cerita fiksi baik di buku, film, atau komik, kita mengenal sebutan redemption arc atau cerita penebusan.
Kurang-lebihnya, redemption arc menitikberatkan tentang seorang karakter mengatasi kekurangan atau kesalahan yang ia lakukan.
Lompat seperempat abad setelah kegagalan pada 1996, EURO 2020 adalah kesempatan Gareth Southgate menebus dosanya gagal penalti.
Bedanya, kali ini Southgate sudah bukan berstatus pemain, tetapi sebagai juru taktik.
More than a team. We're family. ❤️
We'll stick together no matter what. pic.twitter.com/1p4CJNHWXY
— England (@England) July 11, 2021
Lokasi adu penalti Inggris melawan Italia pun sama dengan saat mereka takluk dari Jerman, yaitu di Stadion Wembley.
Dari pinggir lapangan, Southgate melihat kapten tim, Harry Kane, dan salah satu bek andalannya, Harry Maguire, sukses melaksanakan tugas.
Namun, Southgate juga harus pasrah melihat dua eksekutor lain, Marcus Rashford dan Jadon Sancho, sama-sama gagal menjebol gawang Donnarumma.
Di sisi lain, pelatih berusia 50 tahun itu juga menyaksikan Jordan Pickford menggagalkan penalti Andrea Belotti dan si penentu kelolosan Italia ke final, Jorginho.
Bukayo Saka yang menjadi penendang kelima Inggris maju. Apes bagi pemain berusia 19 tahun itu.
Tendangannya diblok oleh Donnarumma, sekaligus memastikan Italia-lah yang memboyong trofi EURO 2020.
Puasa gelar Inggris setelah 55 tahun masih akan berlanjut. Mimpi buruk Southgate belum selesai, justru bertambah.
Bagi beberapa pihak, dosanya belum terhapus, malah mungkin akan bertambah.
Keputusannya sudah memercayakan pemain yang masih hijau seperti Bukayo Saka maju sebagai algojo penalti pada babak final EURO 2020 menjadi pertanyaan.
Southgate sudah menyediakan jawaban soal keputusannya memilih Saka.
“Kegagalan Saka adalah tanggung jawab saya. Saya menentukan penendang dari apa yang saya lihat pada sesi latihan,” kata Southgate usai laga.
“Kami menang sebagai tim, dan tentu akan kalah sebagai tim. Namun, keputusan soal memilih penendang penalti ada di tangan saya.”
“Jadi, tanggung jawab ada pada saya,” tutur Southgate.
Perjalanan Gareth Southgate di EURO 2020 bersama Inggris buat banyak orang mungkin tak ubahnya sebuah kisah fiksi.
Tak sedikit yang memprediksi atau berharap ‘film’ ini punya happy ending untuk beragam alasan.
Untuk sepak bola Eropa, punya raja baru. Untuk generasi Inggris yang akhirnya bisa menjawab ekspektasi. Untuk Southgate membayar utangnya. Untuk memuaskan dahaga gelar suporter The Three Lions. Untuk sepak bola yang akhirnya ingat letak rumahnya.
Namun, hidup bisa lebih aneh daripada kisah fiksi. Plot twist-nya pun tak jarang lebih kejam dari yang terlihat di layar kaca.
Kita semua sudah tahu akhir ceritanya. Sepak bola belum mau pulang ke rumah. Senin subuh WIB, sepak bola memilih ikut ke Roma.
Dua bab horor Gareth Southgate sudah tersaji dalam rentang waktu 25 tahun.
Setelah hasil di Wembley pada Senin dini hari WIB, masihkah ada jilid ketiga sekaligus penebusan untuk Southgate?