Tanggal 9 November 1997 menjadi hari berkabung bagi dunia sepak bola, terkhusus bagi kubu Inter Milan.
Pada hari itu mantan pelatih kenamaan mereka Helenio Herrera Gavilan wafat di Venezia, Italia, karena gagal jantung.
Meninggal di usia 87 tahun, Herrera sudah kenyang asam garam dunia sepak bola baik sebagai pemain maupun pelatih.
Lahir di Argentina pada 10 April 1910 dari ayah dan ibu berkebangsaan Spanyol, Herrera di usia empat tahun pindah ke Casablanca, ibukota Maroko.
Herrera pun mendapat kewarganegaraan Prancis karena saat itu Maroko dalam wilayah jajahan negara Eropa barat tersebut.
(Baca Juga: Ini yang Dimiliki Viktor Axelsen hingga Prestasinya di Bulu Tangkis Sangat Cemerlang)
Pindah ke Paris pada 1932, Herrera yang bermain sebagai bek sepanjang kariernya tampil untuk sejumlah klub Prancis.
Kariernya sebagai pemain bisa dibilang kurang mentereng karena bermain untuk klub yang kurang didengar namanya seperti CASG Paris, Stade Francais, dan FCO Charleville.
Pada 1944 ia bergabung ke klub Puteaux menghabiskan semusim menjadi pemain sekaligus pelatih sampai akhirnya pensiun sebagai pemain pada 1945.
Berevolusi menjadi pelatih membuat nama Herrera lebih dikenal.
Melatih dua klub Prancis, Puteaux dan Stade Francais di dua periode awal, karier kepelatihan Herrera melesat bak meteor karena berkarier di Spanyol.
(Baca juga: Gara-gara Unggahan Ini, Irfan Bachdim Langsung Kebanjiran Komentar Semangat dari Netizen)
Dua klub Spanyol, yakni Atletico Madrid dan Barcelona, dibawanya meraih beberapa gelar.
Tiga gelar bersama Atletico dan enam gelar saat membesut Barcelona.
Pencapaian tertinggi didapatkan Herrera saat melatih salah satu klub raksasa Italia, Inter Milan.
Jika klub-klub Eropa "zaman old" besar karena satu nama pemainnya, misalnya Alfredo Di Stefano-nya Real Madrid, maka bagi kubu La Beneamata terkenal besar karena nama sang pelatih, Herrera-nya Inter Milan.
Pindah ke Inter pada 1960, Herrera menerapkan taktik ultra defensive yang disebut catenaccio.
Ia mengadaptasi permainan bertahan dari Karl Rappan, pelatih asal Austria yang melatih klub Swiss, Servette, pada tahun 1930.
(Baca Juga: Jawaban Zidane soal Ekspresi Tak Senyum Ronaldo Saat Madrid Cetak Gol)
BolaSport.com sadur dari buku "Calcio: A History of Italian Football" dan "The Ball is Round: A Global History of Football", disebutkan Herrera merupakan petualang dalam menerapkan catenaccio.
Sama sepertti Nereo Rocco, mantan pelatih AC Milan, Herrera juga menyempurnakan sistem bertahan yang sering disebut pertahanan gerendel itu.
Formasi 5-3-2 yang disebut verrou (diambil dari bahasa Prancis yang berarti pintu petir) ditambah prinsip "tacalabala" atau "pertahankan bola di kaki" menjadi andalannya.
Empat pemain bertahan dilengkapi pemain sweeper di belakang yang berpatroli di area pertahanan dipasang untuk menjadi menara terakhir sebelum bola mencapai kiper.
Sweeper andalannya saat itu adalah sang kapten, Armando Picchi.
Permainan timnya bertahan, tapi tentu juga tak lupa menyerang.
"Saya punya Picchi sebagai sweeper, ya, tetapi juga punya Giacinto Facchetti, full back pertama yang bisa mencetak banyak gol selayaknya pemain depan," jelas Herrera dikutip dari Italianfootballdaily.
Selain memperbaharui sistem bertahan catenaccio, Herrera yang disebut sedikit bermental diktator juga handal memberikan pep talk atau motivasi bagi para pemainnya.
Sebuah buku karya Brian Boedker yakni "The Legendary Ten: From Humble Beginnings to Big Business" menjelaskan bagaimana cara Herrera membangkitkan semangat pemainnya.
(Baca Juga: Macau Open 2017 - Menang Atas Tunggal Putri Jepang, Fitriani Tak Jadi Cetak Hattrick Ini)
"Ia yang tidak bermain mengerahkan segalanya sama sekali tak memberikan apa-apa" atau "dengan 10 pemain tim kita tampil baik dibanding 11 (saat timnya bermain dengan sepuluh pemain di babak kedua)" menjadi dua kalimat yang pernah keluar dari mulut Herrera.
Disiplin dan tegas, seperti itulah penggambaran Herrera.
Di Inter contohnya, ia melarang pemain untuk merokok, minum minuman beralkohol, dan mengontrol diet.
Di Inter juga Herrera pernah menghukum pemainnya karena saat konferensi pers mengatakan kalimat yang tidak ambisius.
Pemain tersebut mengatakan "kami datang ke Roma untuk bertanding" bukan "kami datang ke Roma untuk menang".
Tak berhenti sampai di situ, Herrera jugalah yang memperkenalkan ritiro, yakni latih tanding sebelum laga yang biasa dimulai pada hari Minggu.
Masih ingat dengan sebutan pemain keduabelas bagi suporter? Herrera merupakan salah satu pelatih yang memberikan sebutan itu, melihat gerakan suporter garis keras yang disebut ultras mulai booming di tahun 1960-an.
(Baca Juga: Kiper Persipura Layangkan Sindiran Soal Keputusan Komdis PSSI)
Meski formasi atau taktik catenaccio aslinya bukan diciptakan olehnya, Herrera dikenal arsitek ulung dalam mengembangkan taktik bertahan tersebut dalam meraih gelar.
Pada final Liga Champions 1964 Inter Milan menggulung Real Madrid 3-1, formasi catenaccio pun semakin terkenal berkatnya dan mulai diterapkan sejumlah klub Italia bahkan tim nasional.
Meninggalkan Inter pada 1968, Herrera menyumbang tiga gelar Liga Italia (1963, 1965, dan 1966), dua Liga Champions (1964 dan 1965), dan dua Piala Dunia Antarklub (1964, 1965).
Pria yang berjuluk Il Mago (penyihir) dan La Grande Inter memutuskan pensiun usai melatih Barcelona lagi pada 1981.
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar