Mimpi buruk warga Belanda terkait kiprah tim nasionalnya berlanjut. Setelah gagal ke Piala Eropa 2016, timnas Belanda juga gagal ke Piala Dunia 2018? Apa pasal?
Jika berbicara soal sepak bola, nama Belanda tak boleh dikesampingkan. Dari negara tersebut, lahir skema filosofi permainan yang kemudian melegenda bernama totaal voetbal.
Totaal voetbal atau total football dalam bahasa Inggris merupakan sebuah taktik yang meminta seluruh pemain di lapangan terlibat dalam permainan dan dituntut untuk bisa mengisi peran di posisi mana pun (kecuali kiper tentu saja).
Dengan filosofi permainan seperti itu, setiap pemain ruang kosong yang ditinggalkan pemain ketika menyerang atau bertahan, akan dilapis oleh pemain dari posisi lain. Semua bersifat mengalir, sehingga siapa pun bisa berperan sebagai penyerang, gelandang, maupun bek.
(Baca juga: Hasil Lengkap Kualifikasi Piala Dunia 2018 Semalam - Kegagalan Belanda dan Pesta Belgia)
Istilah totaal voetbal dikenal ketika Rinus Michels bersama Ajax Amsterdam dan Belanda memukau pencinta sepak bola dunia pada 1970-an. Jika Michels adalah penggubahnya, Johan Cruyff menjadi dirigen dari orkestra totaal voetbal itu.
Totaal voetbal bisa jadi tercipta lantaran prinsip egaliter mengakar di masyarakat Belanda. Egalitarianisme merupakan pandangan yang memandang semua orang sederajat. Tidak ada perbedaan antara satu dengan lainnya.
Semua punya hak dan kewajiban sama tak peduli status atau babat, bebet, bobot-nya. Setiap orang diperlakukan sama.
Filosofi permainan indah ini juga amat didukung oleh talenta-talenta andal yang ditelurkan akademi-akademi sepak bola di Negeri Tulip. Bayangkan saja, Belanda hanya dihuni 17 juta jiwa. Namun, berdasar catatan FIFA, terdapat 1,139 juta pemain terdaftar.
(Baca juga: Tiba-tiba Penyanyi Madonna Saksikan Cristiano Ronaldo Cs Lawan Swiss, Ternyata Ini Sebabnya)
Itu berarti, 6,7 persen dari populasi Belanda merupakan pesepak bola, profesional maupun amatir.
Rasio itu sangat tinggi dibandingkan negara sepak bola lain. Ambil contoh Inggris yang mengklaim negeri kelahiran sepak bola. Di negara tersebut terdapat 1,49 juta pesepak bola terdaftar. Namun, jumlah itu hanya 2,75 persen dari total populasi.
Maka tak heran, dengan didukung kurikulum yang baik di akademi-akademi sepak bola, Belanda tak pernah kekurangan pesepak bola berbakat. Sebut saja Cruyff, Ruud Gullit, Marco van Basten, Dennis Bergkamp, hingga generasi Arjen Robben, Robin van Persie, dan Memphis Depay hanyalah segelintir pemain hebat asal Negeri Tulip.
Kendati demikian, surplus pemain berbakat itu ternyata tak berbanding lurus dengan prestasi tim nasional Belanda. Prestasi terbaik De Oranje "cuma" juara Piala Eropa 1988. Cukup aneh bukan?
(Baca juga: Rekan-rekan Cristiano Ronaldo Bantu Jerman Jadi Satu-satunya Tim Terbaik Eropa!)
Apa yang salah dengan Belanda? Jika melihat ketersediaan sumber daya, kekeringan prestasi itu merupakan sebuah anomali.
Egaliter
Ada banyak asumsi terkait prestasi miris De Oranje, mulai dari kompetisi domestik yang tak kompetitif hingga friksi yang kerap terjadi di timnas. Hal terakhir ini tak lepas dari egalitarianisme di masyarakat Belanda, dalam hal ini pesepak bola.
Prinsip egaliter itu membuat Belanda kerap kesulitan membuat tim yang kuat. Karena prinsip itu begitu kuat, para pemain menjadi susah diatur. Mereka cenderung bersuara sama vokalnya dengan pelatih. Akibatnya, konflik tak terhindarkan.
"Setelah menjadi juara Piala Eropa 1988, Belanda gagal di Piala Dunia 1990. Hal itu tak lepas dari kondisi internal tim yang tak harmonis," cerita Gullit pada acara jumpa penggemar yang digagas Etihad di Jakarta, Sabtu (5/9/2015).
"Saat itu, para pemain meminta adanya pergantian pelatih (Thijs Libregts). Saat itu, para pemain ingin Cruyff menjadi pelatih. Namun, federasi (KNVB) malah memilih Leo Beenhakker," tutur kapten De Oranje di Piala Eropa 1988 itu.
(Baca juga: 4 Negara Tersuci di Kualifikasi Piala Dunia 2018 Zona Eropa!)
Sikap susah diatur itu membuat Belanda lacur atau sial. Dengan status juara Eropa, Belanda gagal total di Piala Dunia 1990. Mereka tersisih di perdelapan final karena kalah dari Jerman (Barat).
"Tentu berat bekerja dalam linkungan yang tak kondusif," beber Beenhakker, 20 tahun selepas Jerman Barat 1990.
Pernyataan Gullit dan Beenhakker ini menunjukkan bagaimana prinsip egaliter begitu mengakar di Belanda. Sampai-sampai, terbawa ke tim nasional dan posisi pelatih pun tidak mendapatkan respek.
Situasi serupa dihadapi Belanda sepeninggal Louis van Gaal. Setelah Guus Hiddink gagal menjadi suksesor sepadan Van Gaal, Danny Blind yang menggantikannya pun gagal mengangkat performa De Oranje.
(Baca juga: Grup Band Ternama Dunia Harus Mengalah pada Lionel Messi Cs)
Belanda kalah dua kali beruntun dari Islandia dan Turki di bawah Blind. Hal ini membuat De Oranje absen di Piala Eropa untuk pertama kalinya sejak 1984.
Bisa jadi, soal mentalitas dan prinsip egaliter di masyarakat Belanda menjadi penyebab kemandekan prestasi De Oranje saat ini. Hiddink dan Blind bukanlah pelatih sekarismatis dan sekeras Van Gaal.
Dengan keberadaan pemain senior dan berstatus bintang, butuh sosok yang lebih "besar" untuk mengatur dan membuat "konsensus" di tim agar menciptakan kesolidan.
Blind tentu bukanlah sosok "besar" itu. Selain punya nama besar dan karismatik, sosok itu haruslah punya perbendaharaan taktik mumpuni.
(Baca juga: Rayuan Mia Khalifa Berhasil Ditolak Mentah oleh Mantan Pemain NBA Ini)
Advocaat tak menjamin
Sikap keras kepala Belanda juga terlihat dari putusan KNVB (Asosiasi Sepak Bola Belanda) terus mempekerjakan Blind hingga kualifikasi Piala Dunia 2018.
Hasilnya pun terbukti, Belanda terseok-seok di kualifikasi Piala Dunia 2018 Grup A. Dari lima laga awal, mereka menang dua kali dan kalah dua kali.
Blind pun dipecat pada Maret lalu dan Dick Advocaat naik menggantikannya. Nama Advocaat yang lebih "besar" dari Blind membuat keharmonisan tercipta di skuat Belanda.
Di bawah Advocaat, dari tujuh laga - termasuk kemenangan atas Swedia pada Selasa (10/10/2017) malam atau Rabu dini hari WIB, Belanda cuma kalah sekali dari Prancis.
Start buruk membuat Belanda tak mampu mengejar Prancis dan Swedia. Apalagi, Advocaat pun ternyata sempat jemawa - seperti halnya orang Belanda - ketika timnya akan berhadapan dengan Belarus dan Swedia menghadapi Luksemburg.
Advocaat mengatakan Swedia yang merupakan pesaingnya tak mungkin menang 8-0 atas Luksemburg. Nyatanya, The Yellow Viking menang dengan skor identik dan menjauh dari kejaran Belanda.
Menang 2-0 atas Swedia tak cukup bagi Belanda untuk lolos ke Rusia 2018. Apa daya, susah diatur bikin timnas Belanda lacur, dua kali beruntun.
Di Tengah Duka, Arjen Robben Ternyata Dekati Jumlah Gol Top Scorer Sepanjang Masa Belanda! https://t.co/rPvAOuejDn
— BolaSport.com (@BolaSportcom) October 11, 2017
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | kompas.com |
Komentar