Istrinya, RA Srie Woelan, adalah adik kandung dari salah satu pendiri Budi Utomo, Dr Soetomo.
Soeratin pun merintis pendidikannya dengan cukup serius.
Tamat dari Koningen Wihelmina School (KWS) di Jakarta pada 1920, Soeratin melanjutkan pendidikannya di sekolah tinggi teknik di Hecklenburg, Jerman.
Tujuh tahun menimba ilmu di negeri seberang, ia kemudian kembali ke Tanah Air dengan gelar insinyur sipil pada 1928.
Dengan gelar itu, karier Soeratin bisa dibilang cukup sukses karena merupakan satu-satunya pribumi yang memiliki posisi tinggi dalam perusahaan konstruksi milik Belanda, bernama Bouwkundig Bureu Sitsen en Lausada di Yogyakarta.
Digaji tinggi sebesar 1.000 gulden, ia juga beberapa kali turut andil dalam membangun beberapa infrastruktur di Nusantara, seperti membangun jembatan dan gedung di Tegal dan Bandung.
Berjuang
Soeratin juga rajin ikut berorganisasi. Dalam sejumlah pertemuan dengan kelompok pemuda yang ingin mencari cara bebas dari belenggu kolonial, ia dikenal sebagai sosok yang mempunyai nasionalisme tinggi.
Di tengah semangat Sumpah Pemuda yang menggelora, Soeratin berpikir keras mencari cara menyatukan Nusantara yang sudah terpecah belah karena taktik devide et impera milik Belanda.
Pada awal 1930, Soeratin akhirnya mempunyai gagasan cemerlang, yaitu menggalang semangat nasionalisme dengan cara berbeda.
Editor | : | Anju Christian Silaban |
Sumber | : | kompas.com |
Komentar