Awalnya karena sanksi dari FIFA terhadap sepak bola Indonesia di pentas internasional, kemudian muncul visi dan misi Presiden Joko Widodo (Jokowi), lalu ada orang "gila" yang menerjemahkannya.
Orang "gila" itu adalah Maruarar Sirait, Ketua Steering Committee (SC) Piala Presiden 2018.
Ia seorang politisi, tapi juga mengaku gila sepak bola sejak SD dan kini mencoba merealisasikan "kegilaannya" dalam turnamen sepak bola.
Ia mengejawantahkan berkah tersembunyi dari sanksi FIFA dan visi-misi Presiden Jokowi itu dalam turnamen Piala Presiden.
Di sela kekosongan kompetisi karena sanksi, Piala Presiden digelar pada 2015.
Gemanya langsung terasa, dan kini di edisi ketiga, Piala Presiden 2018 makin menggema, menggairahkan dan kompetitif, pun kian bergengsi.
Sekadar info, peserta Piala Presiden berasal dari 18 tim Liga 1 plus 2 tim dengan ranking tertinggi dari Liga 2.
Khusus tahun ini, karena Persipura Jayapura tidak ikut, maka posisinya diberikan kepada Kalteng Putra FC.
Roh Bergentayangan
Sebelumnya, Indonesia sudah memiliki banyak turnamen, termasuk terakhir Piala Indonesia.
Namun, ada yang sangat berbeda dari Piala Presiden dibanding turnamen-turnamen sebelumnya.
Sebagai turnamen di sela libur kompetisi, Piala Presiden memiliki dua roh fundamental yang dikedepankan.
"Bagaimana membuat sepak bola Indonesia transparan terutama soal keuangan, turnamen ini harus diaudit dan tidak menggunakan uang negara, baik itu APBN, BUMN maupun BUMD," jelas Maruarar Sirait kepada BolaSport.com.
(Baca Juga: Daftar Top Scorer Sementara Piala Presiden 2018 - Marko Simic Makin Kokoh di Puncak)
Kedua, dia menekankan soal fair play. Menurutnya, praktik pengaturan skor dan suap kepada wasit harus dinihilkan.
"Itu dua roh Piala Presiden. Itu yang membangun kepercayaan industri dan arah menuju sepak bola modern," lanjutnya.
Faktanya, kata Maruarar Sirait, "Piala Presiden memiliki rating dan share tertinggi dan tawaran yang lebih bagus."
Sekadar informasi, rating televisi Piala Presiden sampai semifinal rata-rata 3,1.
Sedangkan share televisi rata-rata 16,4.
"Itu ukuran turnamen ini menjadi hiburan rakyat sekaligus mendapatkan kepercayaan media," katanya.
Salah satu cara untuk merealisasikan semangat tersebut, Ketua Organizing Committee Piala Presiden Berlinton Siahaan menambahkan, hadiah ditingkatkan Rp 1 miliar secara total.
Hadiah sang juara, misalnya, jika tahun lalu Rp 3 miliar, maka tahun ini akan mendapatkan Rp 3,3 miliar.
Di aspek lain, panitia berusaha memakai wasit terbaik demi kualitas pertandingan.
"Untuk wasit terbaik juga sangat penting karena itu akan menjadi sebuah sorotan bagi masyarakat Indonesia," jelas Berlinton.
Dua roh itu dicoba untuk diseriuskan agar bergentayangan menjadi virus yang mengubah mind set dan kultur sepak bola Indonesia.
Gairah Merekah
Gairah Piala Presiden yang dihidupi roh fair play dan transparansi itu juga makin menjanjikan.
Data dari panitia Piala Presiden 2018 selama penyisihan grup cukup menunjukkan kondisi memuaskan.
Hanya ada 1 kartu merah dan 32 kartu kuning.
(Baca Juga: 'Salim' kepada Wasit, Marko Simic Jadi Pusat Perhatian)
Secara total jumlah pelanggaran hanya 200 kali.
Seluruhnya terjadi dalam 30 pertandingan babak penyisihan grup.
Permainan juga tampak dinamis, terlihat dari adanya 4.008 umpan.
Sedangkan total tembakan mengarah ke gawang adalah 136. Itu artinya dalam setiap pertandingan rata-rata terjadi 4,5 tembakan mengarah ke gawang.
Efek sosial-ekonomi
Kegairahan ini memiliki efek besar pula.
Dari segi antusias penonton juga sangat besar, bisa dilihat dari jumlah penjualan tiket sebesar Rp 4,3 miliar dengan rata-rata 26.420 penonton per pertandingan.
Kegairahan ini yang memunculkan 2.697 pedagang kaki dan 939 pengasong.
Rata-rata keuntungan pedagang sebesar Rp 368.894.
(Baca Juga: Babak Semfinal Piala Presiden 2018 Jadi Pintu Rezeki Bagi Pedagang Asal Sragen Ini)
Jika Piala Presiden ingin membangun sepak bola Indonesia melalui jalur turnamen, sebagai pelengkap kompetisi, maka rohnya yang perlu dijaga dan ditingkatkan.
Sebab, dua roh Piala Presiden yang sedang bergentayangan itu terasa mulai merasuk ke dalam tradisi dan kultur sepak bola Indonesia.
Tujuan Piala Presiden membangun sepak bola modern atas dasar transparansi dan fair play terasa semakin prospektif.
Tak menutup kemungkinan, jika dijaga secara konsisten, Piala Presiden bisa menjadi turnamen sakral dan menjadi puncak selebrasi publik atau bangsa seperti Piala FA di Inggris atau Copa del Rey di Spanyol.
Setiap bangsa selalu butuh selebrasi nasional, sebagai euforia, ekstasi, persatuan, dan kebanggaan nasional.
Dan, ritus selebrasi lewat sepak bola memiliki peran besar dalam pembentukan karakter bangsa, menjaga pembinaan, pun menggalang persatuan.
Apalagi, sepak bola adalah olahraga merakyat, akan sangat efektif dan representatif menjadi wahana pembinaan, persatuan, kegembiraan bersama.
Maka, di sini kesempatan dan tantangan Piala Presiden untuk menjadi ritus yang sakral dan menjadi ajang selebrasi bangsa dengan karakter yang makin kuat dan disegani orang lain.
Sesuai argumen Maruarar Sirait, tentunya kunci sukses turnamen ini adalah menjaga dua roh fundamental itu tetap kuat dan makin bergentayangan memperbaiki tradisi, karakter, mentalitas, dan kultur sepak bola Indonesia.
Dua roh itu tak lain fair play dan transparansi.
Jika dua roh itu dijaga dengan baik, bukan tak mungkin Piala Presiden akan menjadi salah satu mercusuar sepak bola nasional yang tak hanya menawarkan selebrasi nasional setiap tahunnya.
Semoga, selebrasi nasional lewat sepak bola dalam nama Piala Presiden itu akan menjadi ritus yang permanen, makin baik, dewasa dan abadi, seperti halnya turnamen milik negara-negara sepak bola Eropa. (*)
Editor | : | Hery Prasetyo |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar