Ambisi pebalap Ferrari, Sebastian Vettel, untuk meraih gelar juara dunia Formula 1 (F1) 2017 pupus setelah cuma bisa mengumpulkan 317 poin pada akhir musim.
Jumlah itu terpaut 46 poin dari pebalap Mercedes, Lewis Hamilton, yang kemudian menjadi kampiun dunia.
Padahal, hingga grand prix (GP) Belgia yang merupakan seri balap ke-12 pada musim lalu, Vettel masih unggul 7 poin atas Hamilton.
Keadaan berubah 180 derajat saat GP Italia digelar di Autodromo Nazionale Monza, 3 September 2017.
Vettel yang cuma bisa finis di urutan ketiga disalip perolehan poinnya oleh Hamilton.
Pada balapan itu, Hamilton tampil sebagai pemenang.
Vettel yang semula unggul 7 poin menjadi defisit 3 poin dari rivalnya tersebut.
(Baca juga: Nostalgia Medali Indonesia pada Asian Para Games Incheon 2014)
Menurut bos Mercedes, Toto Wolff, ada satu hal yang menjadi penyebab utama kegagalan Vettel merealisasikan ambisinya tersebut.
Hal itu adalah emosi.
Dalam wawancara dengan BBC 5 belum lama ini, Wolff menyebut Vettel hanya terlihat kalem di luar.
Di dalam dirinya, ada emosi dan semangat yang membara.
"Hal tersebut berhasil membawanya menjadi juara dunia dalam beberapa tahun terakhir. Tahun ini, hal itu justru menjatuhkannya," kata Wolff yang dilansir BolaSport.com dari BBC.
"Sebaliknya, Lewis justru tumbuh dewasa secara personal, baik saat di balik kemudi atau di luar kemudi. Hal ini membuat dia sangat kuat," tutur Wolff lagi.
(Baca juga: Menurut Mantan Pebalap F1 Ini, Max Verstappen Bisa Menjadi Ancaman bagi Lewis Hamilton)
Argumen Wolff diperkuat dengan fakta-fakta yang terjadi di atas lintasan.
Pertama, saat balapan GP Azerbaijan di Sirkuit Baku, 25 Juni 2017.
Saat itu, Vettel yang tengah memimpin klasemen dengan keunggulan 12 poin atas Hamilton, melakukan aksi kurang sportif.
Vettel yang menganggap Hamilton sengaja mengerem mendadak saat tengah menjalani balapan di belakang safety car, tiba-tiba menyalip, menyejajarkan mobilnya dengan jet darat Hamilton, lalu menyenggol Hamilton dari sisi kiri.
Akibat tindakannya itu, Vettel pun menerima ganjaran penalti waktu dari penyelenggara balapan.
"Di Baku, kami (Mercedes) langsung melihat data untuk melihat apakah ada tindakan uji rem yang dilakukan Hamilton, kami tidak menemukannya," ucap Wolff.
"Namun, saat itu emosi dan kemarahan Vettel menang. Jika Vettel bisa mengembalikan waktu, dia tidak akan melakukan hal tersebut," kata Wolff.
(Baca juga: Konsultan Red Bull: Max Verstappen dan Daniel Ricciardo akan Saling Melengkapi)
Tindakan kurang sportif kedua yang dilakukan Vettel terjadi pada GP Singapura, tepatnya sesaat selepas start.
Vettel yang membalap dengan terlalu agresif membuat empat pebalap, termasuk dirinya sendiri, menyudahi balapan lebih awal.
"Saya tidak tahu apakah dia merasa tertekan atau tidak. Namun, Sebastian sadar, untuk mencetak 25 poin di Singapura, dia perlu memimpin balapan sejak start," ujar Wolff.
"Dia mencoba melakukan itu, tetapi dengan minimnya penglihatan dari dalam mobilnya, dia cuma memicu reaksi panjang dengan mobil-mobil lain," kata Wolff.
Pasca-insiden GP Singapura, jarak poin antara Vettel dan Hamilton melebar menjadi 28 poin.
Situasi Vettel semakin terhimpit ketika dia lagi-lagi mencatat hasil gagal finis pada seri balap musim 2017.
Pada GP Jepang, Vettel gagal mendulang satu poin, sementara Hamilton justru tampil digdaya dengan memenangi balapan di Sirkuit Suzuka tersebut.
Sejak saat itu, Vettel tak lagi mampu mengejar perolehan poin Hamilton dan terpaksa puas dengan status runner-up pada akhir musim balap F1 2017.
Editor | : | Diya Farida Purnawangsuni |
Sumber | : | bbc.com |
Komentar